Oleh : Aisyah Senja Mustika
Tiap dari kita, di nadi kehidupan, pasti memeliliki kesatria, entah dengan alasan apa kita memberinya gelar itu dalam sanubari, yang jelas dia sangat berarti.
Ayahku. Dialah kesatria yang tak pernah gugur menjagaku. Sedang aku bak pangeran tampan dalam istana serba ada yang siap mewarisi tahtanya. Di istana inilah aku dilatatih bagaimana seharusnya hidup, memimpin atau dipimpin, melawan atau membela, melangkah atau mundur, berani atau takut, tenang atau harus marah. Bagiku, dia adalah kesatria keadilan dalam negeri carut marut yang hampir melupakan apa itu keadilan. Aku bisa jamin, di negeri ini tidak lebih dari 5% hakim jujur yang bersedia membawa nama keadilan sebagai jimatnya dalam bekerja. Kalau pun ada, pastilah hanya hakim pembual keadilan mantan ahli pengamat hukum yang paham teori keadilan tapi enggan untuk praktik. Hakim bermulut besar yang sudah diperbudak oleh empat huruf yang dengan itu mereka sudi menukar kehormatannya dihadapan Tuhan untuk mendapatkan jabatan penting dikalangan setan yang terkutuk, mencoret daftar tugas mereka sebagai pembela yang tertindas dan menggantinya dengan mempertimbangan sogokan mana yang lebih besar untuk dimenangkan kasusnya, dan melelang terang-terangan keadilan tanpa rasa malu, kalau manusia sudah tak punya malu, bukankah sudah tak bisa disebut manusia?. Mereka itu manusia tanpa masa depan diakhirat, ya, manusia penyembah setan dengan imbalan empat huruf. Uang.
Hakim. Itulah profesi ayahku 30 tahun silam, ayahku bukan hakim sembarangan, dia teladanku. Untuk dapat menempuh pendidikan hukum hingga jenjang perkuliahan selama 10 tahun di UGM, dia banting tulang tanpa banyak berharap materi pada kakek nenek, maklum mereka bukan orang berpunya. Pembiayaan dari part time jobs dan beasiswa membuat ayahku sangat menghargai keberuntungannya dapat mengenyam bangku kuliah. Sebelum dia menikah, dia sudah ditawari untuk bekerja diinstansi pemerintahan, hingga akhirnya kariernya menjadi hakim tercapai. Sayang itu tak berjalan lama, dia dianggap tak berkompeten dalam menjalankan tugasnya. Masalahnya hanya satu, ayahku punya kejujuran yang tak kompeten untuk melaksakan tugas suap menyuap. Yang sangat tidak aku terima cara mereka mengungkapkan kebenciannya pada ayah. Ayah harus dituduh jadi tersangka sebagai hakim sogokan kasus pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh CEO pabrik rokok ternama. Tuduhannya kejih dengan barang bukti palsu yang terencana, sebagai tersangka penerima suap sebesar seratus juta dari CEO pabrik rokok yang kasusnya ditangani ayah, sedang barang buktinya, jebretan foto hasil karya penguntit yang diambil saat CEO pabrik rokok itu menawari ayah kerjasama. Dengan uang tentunya. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri ayah menolak dengan ganas sambil mengusiri ala petani mengusir Prenjak. Semakin bangga aku, sayang yang difoto ibarat video terpotong. Ayahku dipermalukan layaknya hakim gadungan yang kesannya hukuman diperingan karena dia menyuap, mungkin seperti itu pandangan publik tentang ayah. Sama sekali aku tak menyalahkan publik, karena aparat-aparat gila itu memang sudah menyiapkan cara agar publik bingung. Segala macam opini diutarakan untuk memanaskan suasana, publik ditarik dalam perbincangan politik, jika dirasa masalah semakin kompleks, oh… mungkin bukan kompleks tapi campur aduk, langkah selanjutnya mereka menampilkan para tersangka, saking banyaknya pengakuan dari para saksi, publik pun bingung dan semakin bingung dan enek untuk mendengar lagi hingga para tersangka menjadi samar dan hukuman untuk mereka semakin tak jelas.
Begitu juga yang dilakukan pada ayahku, mereka mempermalukan ayah seperti jaksa penjilat macam Urip, penyuap kelas kakap macam Artalyta, jaksa galak mirip Cirus. Perampok negara berpengalaman yang dihukum ringan karena dapat remisi dan menyogok. Kalau markus-markus itu memang budak setan yang sudah tak tau malu, tapi bagaimana dengan ayahku? Aku benar-benar marah dengan hukum. Kalau saja aku hidup dizaman moyang koruptor negeri ini masih hidup, aku ingin cekik dia atau kukubur hidup-hidup, agar tak sampai dia melahirkan peranakan korup pula. Sekarang sudah terlambat, anak Pak Harto juga sudah menganak. Semakin banyak virus korupsi menyebar. Virusnya meledak dahsyat mengalahkan virus ternama H5N1, mirip seperti virus HIV/ AIDS yang begitu sulit diobati dan belum ada obat untuk menyembuhkan. Sekarang sudah jadi kebudayaaan dan bagian dari keragaman gemah ripah loh jinawinya Indonesia. Membuncitkan perut pejabat, membusunglaparkan rakyat miskin. Semoga diakhirat nanti perut itu berisi nanah, amin. Aparat keparat pencuri ulung yang tak tau malu itu sekarang sudah sangat terkonsep untuk dapat dihancurkan, punya relasi dimana-mana, jika satu bagian ditekan, yang lain membantu. Seakan-akan semua pejabat dan aparatur negara punya misi yang sama “Aset-aset penting dikuasai negara, dan sebesar-besarnya digunakan untuk kepentingan kita”.
Marsinah disayat, Munir diracun, mahasiswa penentang dipenjara, rakyat pemberani dibungkam dengan ancaman kemiskinan. Jangankan mereka yang jelas-jelas sebagai musuh, rakyat yang awam saja juga harus mereka santap mentah-mentah untuk menjalankan misi bejatnya. Berapa juta rumah digusur? Berapa korban mati salah tembak? Berapa mayat ditemukan dari aksi pengeboman dugaan teroris? Bahkan mereka tidak ditanya sama sekali, terlibatkah?. Berbeda sekali dengan penangkapan Gayus yang katanya perlu dibujuk dan dirayu sambil makan Hot Dog di Singapura untuk bersedia pulang ke Indonesia. Beda sekali dengan sel Artalyta yang lebih mirip hotel, ber-AC, dilengkapi komputer, TV, juga ruang meeting.
***
Ayah dipecat, rumah disita untuk membayar denda seratus juta. Kami tidak memiliki harta simpanan berlimpah untuk memulai usaha yang lebih besar. Nama baik ayah tercemar, tidak hanya membuat ayah ditolak untuk bekerja tapi ibu pun juga ikut dipecat sebagai manajer keuangan pada pabrik konveksi. Mengenaskan, harga yang harus dibayar untuk mengamalkan arti keadilan.
Siang itu, kehidupan membalik serasa hanya melempar koin dan memdapat sisi yang berlainan. Tujuh tahun umurku saat itu, ayah, ibu, adik perempuanku dan aku, kami berjalan melintasi pinggiran rel kereta api. Tak ada maksud lain kecuali membaur mencari tempat tinggal beberapa petak yang masih menyisa diantara ribuan rumah remeh, remuk dan kumuh disepanjang pinggiran rel. Hari itu aku belajar lebih, terkadang rakyat miskin selalu miskin bukan karena mereka malas bekerja. Tapi karena sangat susah mencari lapangan pekerja dimana orang polos adalah para pekerjanya. Setelah hampir setengah hari kami berjalan, ada sepetak tanah tak kurang dari tiga meter, lengkap dengan kardus-kardus, bambu enam batang, dan beberapa lembar koran yang sepertinya bekas bahan bangunan ditanah ini. Awalnya beberapa orang disamping kanan dan kiri kami menolak tanah itu kami tempati, namun setelah ayah mencoba berkata pelan-pelan dan bercerita tentang alur yang terjadi pada kami mereka pun mengizinkan. Kami akhirnya saling bertetangga dekat, lingkungan memang tak karuan rusaknya. Anak-anak di perkampungan ini buta aksara, pemudanya banyak menghabiskan waktu untuk mabuk dan bermain wanita, para hawa pun bisa dikata 80 % tunasusila. Sedang bapak-bapak adalah pekerja rendahan seperti pemulung, pengamen, pengemis dan paling tinggi buruh bangunan. Sedang ayahku ditawari warga setempat sebagai kuli angkat sampah, setiap hari dia berjalan mendorong gerobak dan memenuhinya dengan sampah-sampah warga yang ditaruh didepan rumah. Sangat ironis sekali, setiap kali ayahku melintas, semua manusia yang mampu membau serta merta menutup hidung atau lari terbirit-birit masuk kerumah. Tak lain karena onggokan barang tak bernilai itu. Sampah. Ayah seperti tokoh dalam cerpen “Sampah” buah pemikiran Afra.
***
Agaknya, malam itu ibu sedang meratapi nasib kami. Luhnya melintasi pipi-pipi halusnya sambil terjun bebas meninggalankan dagu. Kuhadapkan wajahku ke tembok ala kardus ini, pura-pura aku tertidur, tapi sejujurnya aku pun tak mampu bangun dan memeluknya. Ini terlalu pedih. Hingga pagi benderang dengan sinar yang membangunkanku.
“Gus . . . segeralah mandi, kau bisa terlambat sekolah?” Kurasa ini kalimat ayah yang kacau.
“Sekolah?”
“Ya, tentu saja, ini hari Senin. Bukankah ada upacara?” Ucapan ibu semakin mengigau, apalagi dia tersenyum lebar seolah semalam ada anugrah yang menghampirinya.
“Tapi bu. . . “
“Apa yang kau tunggu?, Let’s go My Boy!” Aku tak habis pikir, mungkin saja hari ini kita tak makan, apalagi sekolah. Aku rasa, aku hanya akan menambah daftar anak buta huruf di kampung ini. Tapi ibu malah memintaku sekolah.
Ayahku tersenyum memasukkan setengah badannya ke dalam kardus sambil membungkuk. “Berangkatlah nak, raih mimpimu. Ayah akan berusaha.”
Aku benar-benar tak ingat apa yang terjadi selanjutnya setelah ibu menangis tadi malam. Yang pasti peristiwa ini, menekanku untuk lebih dewasa sebelum saatnya. Ayahku memang kesatria kami di istana manapun dan bagaimanapun.
***
Tiga bulan berlalu. Jum’at sore itu, ayah tak pulang dengan gerobak sampah seperti biasanya. Gerobaknya kali ini tak bolong atas, rodanya pun berevolusi dari dua menjadi tiga, bersih bercat pula, semakin mendekat terlihat tulisan pada kacanya “NASI GORENG SPESIAL PAK MAHMUD”. Mantap, ayahku sang penjual nasi goreng spesial. Aku tak akan diejek sebagai anak tukang sampah lagi setelah sebelumnya diejek anak koruptor disekolah. Aku naik kasta sebagai anak pedagang asongan.
“Ayah janji, kalau ayah sudah bisa menabung, kita akan segera mencari kontrakan.” Kata ayah sambil memegang pundakku. Aku mengangguk yakin. Itu yang kami harapkan, sebab tiap malam memikirkan pagi-pagi buldoser menyapu bersih rumah kami, dari kabar yang kami dengar dari tetangga, lahan ini akan dikosongkan yang selanjutnya dibuat department store.
Tak jauh berselang, akhirnya mimpi buruk itu tiba. Sorenya kami diberi tahu untuk mengosongkan rumah. Sedang kondisi itu sangat tidak memungkinkan. Adik perempuanku sakit keras. Hujan lebat disertai petir memaksa kami untuk tidak keluar, dagangan ayah tak bisa dijual. Para tetangga juga panik, jelas saja mereka begitu, bagaimanapun ini tanah air mereka, kalau dari tanah kelahiran sendiri saja diusir, akan lari kemana mereka?. Jika dalam undang-undang dasar orang miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, itu jelas pasal yang tidak bertanggung jawab. Orang miskin hanya mendapat beberapa petak tanah namun tetap saja dirampas.
9 Agustus 1981. Fajar menyapa, dan buldoser pun datang dengan arogannya. Seolah kami sampah yang siap dikeruk. Adikku belum membaik dan warga masih kekeh untuk tetap tinggal. Petugas pamong praja yang dulunya sempat diragukan tingkat intelektualitasnya karena kebrutalan mereka, hari ini mereka memastikan keraguan itu.
Aku tak paham yang ayah pikirkan, apa naluri hakimnya memang tak pernah dipecat?. “Hai budak berseragam! Dibayar berapa kalian sampai citra kemanusianmu hilang? Apa kalian tak bisa melihat, disini banyak orang tua dan anak kecil? Tak bisakah kalian sedikit bersabar? ”Ucapan ayah ternyata cukup memprovokasi para tetangga kami untuk melawan,”
“Ya betul”
“Betul…, betul”
Riuh semakin bergemuruh, keberanian bersua meningkat, seakan berlipat seperti reproduksi Amoeba proteus. Satu menjadi dua, dua menjadi empat, empat menjadi enam belas, dan terus meningkat sampai tetangga kami ini bermetamorfosis dari penduduk jahiliah membentuk pasukan bengis antibudak berseragam Pamong Praja. Ayah semakin menjadi, tak seperti dia yang tenang dan penuh senyum. Mungkin ini campuran laju reaksi kemarahan yang meledak antara kejernihan air yang disiram tanpa aturan mililiteran asam sulfat.
Pasukan Pamong Praja naik pitam, seorang diantara mereka mengeluarkan dekrit agar buldoser bergerak, dilanjutkan tembakan peringatan ke atas. Pasukan membuat benteng formasi tapal kuda namun bergerak maju membuat perlawanan. Sedang ayah memimpin makar bermodal nekat, alat apa saja yang dipegang, barang apa saja yang ada digunakan untuk menyerang. Dengan satu teriakan ayah “Lawaaan!”, secara tersistem para warga menusuk dan menggerus habis ketakutan mereka, menyemburkan nyali untuk beraksi.
Kerusuhan terjadi hingga duapuluhan menit dan masih berlanjut, jelas tanda-tanda kita tak menang. Namun cukup mengendurkan keangkuhan mereka. Hatiku getir, hanya bisa berlari mengikuti ibu yang tergoboh-goboh memanggul adik sambil berlari menjauh. Terdengar suara tembakan lagi. Kami terhenti, seseorang dari Pamong Praja yang aku duka sebagai pemimpinnya menggertak “Hentikan semuanya, bagi yang tidak taat pada prosedur hukum. Akan dipenjarakan seperti provokator ini!” Kami mendekat, diantara kerumunan itu, memastikan keadaan ayah, semakin membaur, semakin ketengah dan semakin kedalam pusat lingkar kerumunan. Oh, hatiku semakin getir, iba aku melihat kesatriaku, relung matanya biru pucat, kucuran darah hidung meningkatkan derasnya aliran darah yang keluar dari pinggiran bibir, tangannya semakin memelas dapat pukulan bertubi-tubi dengan beberapa sayatan bergores kepedihan. Kaos polosnya diwarnai merah darah dan digunting-gunting benda tajam. Kegetiranku memuncak ketika tangan kesatriaku diborgol. Ayahkulah provokator itu.
Ayahku diseret tanpa memedulikan darahnya yang berlimpahan hingga membentuk permadani merah. Kami meronta sejadi-jadinya, adik perempuanku pingsan. Ibu pergi mengejar ayah, saat ibuku memeluk ayah pun mereka tetap menyeretnya. Ibu tak lantas menyerah, dia bersimpuh dihadapan pemimpin mereka. Tampak pengharapan dimata ibu, rautnya memelas, air mata membuat dia semakin terlihat payah dihadapan mereka. Namun seperti yang ayah katakan, mereka budak berseragam, yang hanya bisa dibeli dan digerakkan dengan uang, termasuk hatinya. Aku yakin kamu pun sudah paham apa yang selanjutnya terjadi, ayah tetap diseret. Sesaat, sepintas otakku sedikit berasa aneh, tak seperti sakit kepala. Aku merasa deretan susunan kromosomku megalami mutasi ringan, sebelum aku benar-benar berhenti meraskannya ada banyak hal yang terlalu menekanku. Gairah ibu kering tanpa oase dimatanya, perpindahan ayah semakin jauh dari ragaku, adikku tergeletak kaku seakan-akan dia ingin pingsan agar tak melihat ini semua, sedang para warga itu kembali berubah kewujud semula, penduduk jahiliah tanpa keberanian untuk membela diri mereka sendiri, apalagi ayah.
***
9 Agustus 2011. Pagi ini, tak lupa aku minta ridhoNya, berpamitan pada istriku dan mengecup kening anakku. Ada misi penting hari ini, mengeluarkan ayah dan menghancurkan sarang begundal bengis .Setidaknya untuk ini aku telah melakukan beberapa riset penting bertahun-tahun. Bagaimana para jenderal itu melakukan pembunuhan berencana pada para aktivis, berapa kira-kira tarif untuk membeli keputusan hakim, sifat kooperatif apa yang mesti ditunjukan untuk bisa bernego dengan jaksa. Seperti apa sistem koordinasi yang dilakukan para direktur dan penguasa negeri agar aman menggelapkan uang negara. Lengkap dengan teknik-teknik membekuk gerakan radikal sebelum mengancam keselamatan mereka serta langkah-langkah yang ditempuh untuk mencipatakan iklim publik sesuai dengan instruksi penguasa. Dan yang tak kalah penting mengetahui mana teman, mana lawan, termasuk membuat perangkap singa pada siapa saja yang tak sejalan. Tentu saja aku tak berhenti hanya mencari tahu, tapi juga bukti otentik untuk menghancurkan mereka, plus rencana B jika mereka melakukan tindakan lanjutan. Aku sudah siap dengan segala kemungkinan, setelah sekian lama aku berpura-pura dipihak mereka. Sekarang aku benar-benar akan menjadi boomerang untuk mereka, jika mereka berbalik menyerang, aku pun telah menyiapkan umpan balik. Hari ini akan sangat seru, jika pada akhirnya aku harus hancur karena mencoba mengobrak-abrik peradapan mafia negeri ini, aku tak akan menyesal. Sebab aku pun telah membuat peradapan keadilan baru untuk negeri ini. Jika aku gagal memusnahkan mafia ini, atau kemungkinan terburuk dengan gagal mengeluarkan ayah dari penjara. Toh aku telah mempersiapkan kesatria baru yang akan jadi Aang dalam Avatar untuk memadamkan api korup itu. Anakku. Kita takkan punah, karena Tuhan akan bersama kita. Keadilan takkan pernah mati, karena Tuhan itu abadi. Ayahku telah menanam Anaphalis javanica pada tanah keadilan yang gersang, namun keturunannya akan membuatnya lestari.
Aku sangat yakin, dalam mimpipun mereka takkan pernah berimajinasi akan ada hari seperti ini. “Hai mata-mata culas mafia, hentikan aku jika kau bisa!”