Tentu saja hal ini selain melanggar dan menciderai kode etik pers, juga mencedarai hakikat Pers pada dasarnya yaitu keindependensian atau keterlepasan media dari berbagai tekanan dan intervensi dalam keberimbangan sebuah berita. Namun dalam hal ini, hal itu tidaklah terjadi hingga muncul beberapa masalah yang tidak diinginkan. Seperti kerugian nama baik seseorang misalnya akibat nilai sebuah pemberitaan. Tentu media mainstream sudah bisa mengntisipasi hal hal ini, hal hal yang tidak diinginkan tidak terjadi. Seperti Jawapos yang mempunyai tim ombudsman khusus dalam hal hal yang tak diinginkan Ombudsman berfungsi untuk menjembatani antara redaksi dan pihak pihak yang bermasalah dengan pemberitaan
Ditambah dalam perjalanan mengahadapi masalah yang demikian biasanya media media yang belum memiiki tim khusus yang menjembatani antara redaksi dan pihak pihak yang bermasalah lebih memilih dewan pers untuk menjembatani mereka. Dewan pers bergaung namanya ketika akhir akhir ini bisa memediasai konflik yang melibatkan media.
Namun ini hanyalah mekanisme dari sudut pandang mediasi saja, jika di meja hijaukan hal ini bisa saja terjadi, dan di pengadilan tinggal menunggu keputusan dari majelis hakim saja untuk menentukan siapa yang bersalah atau tidak. Dalam sejarah banyak kasus media yang dimejahijaukan, yang cukup fenomenal adalah Kasus Majalah Times vis a vis mantan presiden Soeharto. Dalam hal ini, Soeharto tidak terima dengan pemberitaan Majalah Times tentang harta kekayaan beliau di berbagai negara, dengan berbagai pertimbangan, tim kuasa hukum majalah Times yang digawangi Todung Mulya lubis bisa mengalahkan Presiden Soeharto di pengadilan Negeri Jakarta.
*Dirangkum dari hasil diskusi LPM Pabelan