Sukarno selalu absen setiap perjanjian-perjanjian internasional dengan Belanda. Bukan berarti tidak diundang atau diutus mewakili Indonesia, tetapi sikap politik non-kooperasi Sukarno yang menyebabkan ia terasing dari hiruk-pikuk meja makan dan kesepakatan-kesepakatan. Walau tanpa dipungkiri Sukarno juga manusia yang membutuhkan makan untuk revolusi, bukan revolusi untuk makan. Tetapi keteguhan sikapnya mengguncangkan dunia internasional. Sikap-sikapnya yang kontroversial tak ubahnya sebuah oase di padang pasir petani miskin di desa, buruh pabrik di kota, dan nelayan kecil di pantai. Lebih baik puasa daripada sesama saudara saling perang, seperti yang Mahatma Gandhi lakukan. Konon Sukarno merupakan salah satu pengagum Gandhi yang taqlid, sehingga untuk sebatas bersua sambil makan dan minum anggur dengan teman lamanya saja (baca: Belanda), ia tolak mentah-mentah. Walau Sukarno sudah tahu itu sekedar basa-basinya Belanda saja untuk mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (baca: negara boneka Belanda). Benar juga Moh. Hatta yang akhirnya diundang untuk menghadiri rapat agung penyerahan kedaulatan Indonesia tanggal 27 Desember 1947. Belanda lebih paham perangai Hatta daripada Sukarno.
Bukan Sukarno namanya kalau tidak membuat pemimpin negara lain mengernyitkan dahi. Jangankan Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) yang sedang menjadi musuh bersama dunia internasional. Sekelas Inggris saja hendak ia linggis apalagi Amerika Serikat yang ia ingin setrika. Bahkan bagi sebagian orang urusan makan adalah hidup dan mati, oleh Sukarno hidangan makanan disulapnya menjadi politik kelas wahid. Di meja makan bersama pemimpin negara lain Sukarno mempertaruhkan harkat dan martabat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdikari dalam bidang ekonomi, berdaulat dalam bidang politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan menjadi hidangan penutup para petinggi negara yang ia kunjungi. Sedangkan Pancasila sebagai mata air kehidupan (meminjam istilah Yudi Latif) menjadi minuman yang menyegarkan bagi para petinggi negara yang berasal dari tanah gersang, sehingga terciptalah Gerakan Non-Blok. Tidak lupa sebatang rokok yang ia hisapnya selepas makan menjadi tanda persahabatan dengan negara-negara yang sekarang mengikat tali kerjasama ekonomi BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan).
Cerita di Amerika Serikat
Menurut kesaksian Ny. Supeni sewaktu Sukarno berkunjung ke Amerika Serikat beserta rombongannya setelah selesai mempromosikan Pancasila di depan sidang PPB. Sukarno dan rombongan diundang oleh presiden Eisenhower untuk dijamu di gedung putih. Sebelum acara, delegasi Indonesia diminta daftar nama rombongan yang akan diajak turut. Lalu dikirimlah daftar nama-nama kepada protokol kepresidenan gedung putih. Tak dinyana, Eisenhower kemudian membatalkan undangan itu, karena ada nama Aidit di dalamnya. “I cannot receive the party of presiden Sukarno…” demikian kawat dari presiden Eisenhower.
Sukarno seketika sontak murka membaca email tersebut. “Bilang sama Eisenhower, ‘Tuan baru saja menerima Kruschev, si embahnya komunis, tapi kini Tuan menolak menerima Aidit. Tuan mau menerima si komunis Kruschev karena dia berkulit putih, tapi Tuan menolak menerima Aidit karena dia berkulit sawo matang. Sukarno tidak bisa terima perlakuan ini’”.
Eisenhower kaget menerima balasan seperti itu. Akhirnya dia bersedia menerima Aidit sebagai salah satu anggota rombongan Sukarno.
“Untung lho, Dit, koen dibelani Bung Karno. Nek ora, koen ga iso mlebhu White House. Sing mbelani koen ki Bung Karno lho, Dit, ora Kruschev,” ujar seorang anggota rombongan.
Di White House, Sukarno memperkenalkan satu per satu anggota delegasinya, mulai dari Ali Sastroamidjojo dan lain-lain. Ketika memperkenalkan Aidit, Sukarno kembali mengatur intonasinya. “This is Mr. Aidit, the chairman of the Indonesian Communist Party. But he is good communist. He believe God” ujar Sukarno serius. Kontan rombongan Indonesia yang lain jadi cekikan mendengarnya.
Di balik cerita itu dapat kita simpulkan sementara bahwa politik meja makan, bukan hanya bicara soal untung-rugi kepentingan, ya jikalau kepentingannnya untuk kesejahteraan rakyat. Tetapi juga bicara soal mentalitas bangsa merdeka yang mempunyai kedudukan sama atas nama demokrasi. Terserah dia mau berkulit putih, hitam, sawo matang, atau sawo busuk sekalipun, yang namanya segala bentuk penjajahan harus dihapuskan. Jauh-jauh hari sebelum orang bicara postkolonialisme, Sukarno sudah bicara lantang tentang perbedaan warna kulit. Selain daripada itu jamuan makan yang seharusnya digunakan kesempatannya oleh Eisenhower untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Justru di jawab oleh Sukarno dengan lantang “Go to hell with your aid!”. Politik meja makan pun jadi bubar. Ya seperti itulah awal ceritanya.
Penulis adalah Iljas Hussein. Mahasiswa aktif UMS.