Terima kasih, Angga. Ayah tahu kamu anak yang baik. Pulang nanti akan ada kamera baru di kamarmu.
Sial! Kantor terkunci. Kaleng bekas cat yang kami gunakan untuk membuat spanduk masih tertata rapi seperti saat kami mening-galkannya terakhir kali. Mataku menangkap anggota baru mahasiswa pecinta alam yang terlihat sedang berlari menghindariku. Kutarik kerah bajunya saat akhirnya aku bisa menggapainya dengan kesal.
“Jelaskan … hosh … hufhh …” aku tere-ngah. “Jelaskan semuanya!” bentakku pada dia yang menunduk.
“Koordinator lapangan,”
“KATAKAN!” Aku semakin kuat menarik kerahnya.
“No-nominalnya katanya besar, Kak. Ss-saya tidak tahu … bagaimana jelasnya,”
Aku terbelalak mendengar jawabannya. Apakah mereka benar-benar teman yang kukenal? Apakah itu benar-benar senior yang kubanggakan? Semudahkah itu mereka dibeli? Di mana idealisme? Apa aku baru saja salah mendengar sesuatu?
Salman, teman sekelasku di beberapa mata kuliah yang sering mengajakku datang ke kajian, melihatku dan melepaskan ceng-keraman tanganku yang ternyata masih ber-sarang di kerah juniorku. Ia lalu menyeret tubuhku yang seperti layu.
Bersambung…
Penulis adalah Fa Rahma. Tulisan pernah dibuat di Tabloid Pabelan Pos Edisi 110.