Kekerasan seksual dapat terjadi baik di ranah domestik maupun publik, tak terkecuali di institusi pendidikan. Lingkungan kampus yang idealnya menjadi tempat untuk belajar kehidupan dan kemanusiaan justru menjadi tempat di mana nilai-nilai kemanusiaan direnggut dan dilanggar. Lingkungan kampus yang didominasi oleh kaum ‘intelektual’ dengan panjangnya gelar yang disandang ternyata tidak berbanding lurus dengan perilaku menghargai nilai dan martabat terkhusus perempuan sebagai sesama manusia.
Regulasi tentang kekerasan seksual di kampus yang seharusnya menjadi ruang aman dalam menangani korban kekerasan seksual, khususnya di ranah kampus. Namun kenyataannya bagi mereka yang berani bersuara malah seringkali disalahkan.
Saya rasa pelaku kekerasan seksual di ruang lingkup kampus banyak yang masih belum terbongkar. Pasalnya, mahasiwa enggan speak up (berbicara) bila mengalami kekerasan seksual dikarenakan alasan takut diberhentikan dari kampus. Serta minimnya peraturan yang memayungi kasus kekerasan seksual hanya berkutat pada tindak pidana perkosaan dan pencabulan.
Hal ini dirasa masih tidak efektif dan belum mampu memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Terdapat kekosongan hukum yang menyebabkan banyaknya bentuk kekerasan seksual yang tidak diatur dalam regulasi dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, seharusnya kampus mempunyai regulasi untuk pencegahan pelecehan kekerasan seksual kepada seluruh civitas academika. Tentunya kita ketahui bahwa akhir-akhir ini banyak kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum dosen.
Berdasarkan data CATAHU Komnas Perempuan, terdapat 46.000 kasus kekerasan seksual terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 2011 sampai 2019. Sementara dalam catatan tahunan Komnas Perempuan 2020 tercatat 4.898 orang mengalami kekerasan seksul, 4.898 diantaranya terpaksa tinggal di rumah aman dan beberapa masih hidup dalam tekanan. Ancaman serta memperoleh stigma bahkan diskriminasi 4.898 membutuhkan bantuan hukum, bantuan saat proses peradilan, layanan perlindungan dan pemilihan.
Jumlah yang besar tersebut menyiratkan tentang perlunya menekan kejahatan dengan regulasi komprehensif yang memayungi. Data Komnas Perempuan hanyalah sebuah angka bisa jadi yang terjadi di lapangan lebih besar dari angka yang tertera di catahu.
Bahkan kampus yang seharusnya memberikan perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual juga harus dilakukan. Melihat bahwa label kampus merdeka telah disandang oleh seluruh instansi pendidikan. Tentu tidak hanya bebas dalam berpendapat, para mahasiswa juga harus bebas dari perlakuan pelecehan, intimidasi, labelisasi, dan viktimisasi yang dialami oleh korban kekerasan seksual.
Korban yang berani berbicara harus dilindungi dan diberikan penanganan oleh pihak kampus. Serta seluruh masyarakat kampus harus bisa memberikan ruang aman lewat regulasi yang ada di setiap universitas. Jika universitas tersebut belum mempunyai regulasi tentang kekerasan seksual seharusnya mahasiswa bisa mendesak kampus untuk mengesahkan regulasi penghapusan kekerasan seksual. Pentingnya peran mahasiswa dalam menciptakan ruang aman dan saling kerja kolektif dalam menciptakan kampus merdeka dari kekerasan seksual.
Dalam menciptakan kampus aman dari kekerasan seksual ini adalah tugas bersama untuk bisa memberikan ruang-ruang aman bagi seluruh civitas academika baik di dalam kampus maupun di ranah kampus. Hal ini menjadikan kita kembali mengkoreksi apakah kampus kita telah aman dari kekerasan seksual? Serta pentingnya pusat studi gender untuk bisa bekerja sama dengan seluruh mahasiswa.
Saya rasa kampus saat ini malah menjadi tempat yang saling menutupi apabila terjadi kekerasan seksual dengan dalih mencoreng nama baik kampus. Tapi bagi saya hal ini akan membuat para pelaku tidak akan pernah jera, apapun alasannya pelaku kekerasan seksual tidak dapat dibenarkan. Justru berbanggalah kepada setiap kampus yang bisa membongkar pelaku kekerasan seksul. Karena secara besar dia telah mendesak pemerintah dalam mengesahkan rancangan penghapusan kekerasan seksual.
Adapun beberapa faktor mengapa kekerasan seksual yang terjadi di ruang lingkup kampus tidak dapat terbongkar, diantaranya: kampus yang beranggapan bahwa kasus tersebut adalah aib bagi kampus, mahasiswa yang enggan bersuara karena kampus tidak memiliki regulasi yang jelas, relasi kuasa yang masih terjadi di kampus dan korban yang berani berbicara akan dideskriminasi oleh seluruh civitas academika. Maka dari situ pentingnya kerja kolektif bersama dalam mengawal kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seluruh civitas academika.
Baca Juga: Menjadi Manusia Terbaik, Menjadi Bermanfaat untuk Orang Lain
Penulis : Abdur Rahman Wahid
Mahasiswa Aktif Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Khas Jember
Editor : Izzul Khaq