(Tulisan ini pernah dimuat di Tabloid Pabelan Pos Edisi 119 rubrik Liputan Utama pada tahun 2018, ditulis oleh Cici Birohmatika, Sofi Filda Izzati dan ditulis ulang oleh Andika)
Masa muda adalah masa di mana orang sedang mencari jati diri dan mencoba mengenal hal baru, salah satu caranya adalah dengan melakukan perjalanan ke suatu tempat alias travelling. Travelling dapat diartikan sebagai aktivitas atau kegiatan mengunjungi suatu tempat untuk berlibur. Namun, travelling tidak sekadar berlibur saja. Traveller (sebutan untuk orang yang sering melakukan travelling) biasanya melakukan perjalanan juga memiliki tujuan untuk mengenal lebih jauh tempat-tempat yang mereka kunjungi, tentunya dengan melakukan persiapan yang matang.
Seperti yang diketahui hingga saat ini, terutama berkat ramainya aktivitas yang dipublikasikan di media sosial, aktivitas travelling begitu naik daun. Bahkan, ia telah menjelma sebagai gaya hidup bagi mereka yang menyukainya. Hal ini bisa dikategorikan sebagai pergeseran praktik atas konsumsi kebutuhan yang menjadi bagian dari instrumen gaya hidup. Pola konsumsi masyarakat berubah dari konsumsi kebutuhan non-leisure ke tahap mengisi kegiatan waktu luang atau leisure. Mahasiswa yang sering travelling secara tak sadar melakukan hal tersebut.
Salah satu mahasiswa yang senang melakukan travelling, Tesya Cahyaning Ratri menjelaskan mengenai apa yang dia dapatkan ketika sedang travelling kepada reporter Tabloid Pabelan Pos edisi 119.
Tesya yang merupakan mahasiswa STIMIK Duta Bangsa Surakarta mengaku sudah mulai mendaki gunung saaat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), tetapi hanya sebatas pegunungan di daerah Wonogiri. Setelah melakukan travelling, khususnya mendaki gunung, ia merasa lebih peduli terhadap sesama, bahkan juga terhadap lingkungan sekitar. “Kalau dulu kita lihat sampah, ya, cuma dilihat, sekarang sudah (langsung, red) kita ambil sampahnya,” ungkapnya.
Akankah Travelling Justru Merugikan?
Dengan semakin mudahnya seseorang untuk mengakses informasi di gadget, mencari destinasi berikutnya untuk travelling menjadi sangat mudah dan tidak ada habisnya. Mahasiswa sebagai salah satu pelaku travelling tentu sangat senang karena dengan melakukan aktivitas travelling, pikiran akan kembali segar di tengah berbagai kesibukan kuliah.
Akan tetapi, travelling bisa saja menjadi gaya hidup yang sehat atau malah sebaliknya. Dampak positif yang didapatkan orang ketika travelling adalah, tentu saja, mendapatkan kesenangan dan kepuasan tersendiri, apalagi mahasiswa yang kesibukan kuliahnya sering menjadi keluhan sehari-hari yang menjemukan. Dengan melakukan travelling, beban pikiran yang selalu menghantui diharapkan bisa segera hilang.
Adapun sisi negatifnya, travelling tanpa dibarengi dengan kesiapan yang matang, baik dari segi finansial maupun pikiran, dapat menimbulkan perilaku boros. Tesya sendiri yang memiliki hobi travelling mengatakan, setidaknya membutuhkan biaya seratus hingga dua ratus ribu rupiah dalam sekali perjalanan. Biaya itu mau tak mau harus dikeluarkan untuk transportasi dan logistik pada waktu jalan-jalan. “Kalau Travelling di luar Jawa biasanya lebih dari lima ratus ribu,” jelasnya.
Travelling memang biasanya dilakukan oleh mahasiswa ketika memasuki liburan semester, tetapi ada saja mahasiswa yang rela meninggalkan kegiatan sehari-harinya, bahkan sengaja meninggalkan kuliah, semata-mata demi kegiatan “jalan-jalan” tersebut. Terkadang, mahasiswa sengaja melakukan travelling hanya untuk menghindari tugas dan kewajiban dasarnya yang belum diselesaikan. Terlebih lagi, melakukan travelling yang cukup membebani fisik juga dapat menimbulkan gangguan kesehatan akibat kelelahan pasca kegiatan.
Menyusun Prioritas dan Manajemen Persiapan
Meskipun sebenarnya sudah jelas, tetapi pada kenyataannya, beberapa mahasiswa masih belum bisa membedakan mana yang diprioritaskan terlebih dahulu antara kuliah dan travelling. Demi meminimalisir kerugian yang bisa ditimbulkan, melakukan persiapan dengan matang menjadi keharusan bagi mahasiswa yang hendak melakukan travelling. Waktu, fisik, dan finansial adalah hal-hal dasar yang perlu dipersiapkan, tentunya setelah memastikan tidak ada kewajiban lain yang lebih prioritas.
Beberapa tips yang bisa dilakukan dalam menekan biaya adalah, apabila hendak melakukan travelling atau liburan dalam waktu luang yang cukup pendek, hendaknya dilakukan dengan cara hitchiking. Hitchiking adalah kegiatan travelling yang dilakukan, baik oleh individu maupun berkelompok, dengan tidak mengeluarkan uang untuk transportasi. Misalnya ketika kita ingin hitchiking dari Solo ke Jogja, caranya adalah kita ikut teman yang ingin melakukan perjalanan ke Jogja.
Untuk aktivitas seperti mendaki gunung yang dilakukan saat akhir pekan, usahakan untuk tidak berkemah, tetapi langsung turun seperti yang dilakukan Tesya. Manajemen waktu. Ketika sudah sampai di puncak gunung, ia akan beristirahat sejenak, kemudian langsung kembali ke kaki gunung. Hal tersebut dapat dilakukan dengan syarat gunung yang didaki mudah dijangkau dalam beberapa jam. Apabila gunung yang dituju jarak tempuhnya lama, Tesya akan melakukan pendakian di waktu liburan semester.
“Pernah waktu itu ke gunung di Jawa Barat. Berangkat Sabtu sore, lalu Minggu malam sudah pulang, tapi capeknya terasa banget,” imbuhnya.
Hal lain yang perlu dipersiapkan agar keinginan mendaki gunung tetap tercapai adalah menabung jauh-jauh hari. Apabila masa liburan datang dan kita belum memiliki uang tabungan untuk liburan, otomatis rencana kita untuk liburan akan gagal. Karena juga sudah bekerja, Tesya bisa menyisihkan sendiri uang khusus liburan miliknya, sehingga tidak membebani kedua orang tuanya untuk membiayai hobinya ini.
“Nah, gaji kerja per bulan itu setengahnya buat kebutuhan sehari-hari, setengahnya ditabung. Karena kita kan punya tujuan (wisata –red). Kalau kita pergi jauh, kita kan harus menabung jauh-jauh hari,” tutupnya.
Editor : Akhdan Muhammad Alfawwaz