UMS, pabelan-online.com – Kebebasan berpendapat adalah hak setiap manusia dalam mengekspresikan dirinya. Bagi mahasiswa, khususnya dalam student government seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) yang menjadi penyelenggara pemerintahan di universitas, suara dari mahasiswa menjadi penggerak utama dalam proses bekerjanya. Kritik dan saran yang masuk semestinya mampu membuat kinerjanya menjadi lebih baik.
Ryan Redy Pradana, Gubernur BEM Fakultas Hukum (FH), mengungkapkan bahwa kebebasan berpendapat merupakan hak setiap mahasiswa untuk mengekspresikan dirinya. Kemudian, hal itu diwujudkan sebagai bentuk penyampaian keresahan terhadap suatu organisasi mahasiswa (ormawa), khususnya BEM dan DPM. Ketika kedua lembaga tersebut memiliki kinerja yang semakin baik, maka akan memberikan timbal balik yang baik juga kepada mahasiswa.
Politik mahasiswa merupakan salah satu bentuk dari adanya kebebasan berpendapat mahasiswa. Secara umum, pihak kampus tidak membatasi adanya kebebasan berpendapat dan kegiatan politik mahasiswa. Namun, ada beberapa kasus yang memungkinkan adanya intervensi oleh pihak kampus ataupun birokrat. Intervensi ini biasanya terkait dengan kasus-kasus yang diduga berpotensi merugikan nama baik kampus.
Berkaca dari aksi tuntutan yang terjadi beberapa hari yang lalu antara BEM F terhadap BEM U, yang mana juga merealisasikan bentuk kebebasan berpendapat dalam dunia perpolitikan mahasiswa. Tuntutan tersebut timbul akibat kurangnya kinerja dari BEM U selama satu periode ini. Namun, tak berselang lama, pemimpin BEM F dipanggil oleh kemahasiswaan terkait aksi tersebut untuk dimintai keterangan.
“Secara keseluruhan memang dari temen-temen BEM F meminta rektorat untuk tidak ikut campur urusan student government, dan pihak rektorat mengamini terkait permintaan kami. Mungkin dari pihak rektorat ingin tahu permasalahannya apa,” ungkap Ryan, (23/11/2021).
Sebagai wadah dalam menjaga sosial politik di masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Soratice Surakarta menilai bahwa, ajang kebebasan berpendapat dapat dikatakan wajar jika terjadi tekanan maupun pendegradasian nilai-nilai perjuangan lainnya dari beberapa pihak. Hanya saja, seburuk atau sebaik apapun penyampaiannya seharusnya tetap diapresiasi sebagai bentuk kebebasan berekspresi.
Pemerintah akhir-akhir ini menggemborkan konsepsi pendidikan baru, misalnya kampus merdeka. Konsep tersebut harusnya mampu diperluas lagi dengan demokratisasi kehidupan di dalam kampus. Kehidupan demokratis adalah kondisi di mana setiap orang di suatu wilayah berhak mengekspresikan diri yang menyangkut masa depan mereka. Sayangnya, kehidupan ini belum terbiasa bagi masyarakat. Dalam ranah perkuliahan, antusiasme mahasiswa yang kurang ketika dosen mengajak berdebat atau berdialog juga bisa disebabkan oleh iklim akademik yang kurang kondusif, sehingga mahasiswa menjadi tidak percaya diri, takut ditekan, dan sebagainya.
Daffa menjelaskan, beberapa iklim yang mungkin menjadi penyebab tidak berjalannya demokratisasi dalam kampus. Salah satunya adalah iklim dalam kampus yang masih terlihat tidak begitu cocok untuk berdialog, seperti perkataan teman yang dapat menimbulkan potensi degradasi berpendapat. Selain itu, terkadang kita diharuskan untuk selalu berhati-hati ketika berbicara di kampus. Hal ini karena mampu menyinggung orang-orang yang berkepentingan di dalam kampus.
Maka dari itu, masih banyak bentuk-bentuk kebebasan berekspresi yang sering direpresi dan ditekan oleh beberapa pihak. “Tentu, kami menyayangkan represi-represi yang terjadi kepada korban, tetapi problematika tersebut memang masih menjadi hal yang kurang disadari dan diselesaikan masyarakat,” ujar Daffa dalam wawancara via Whatsapp.
Mahasiswa diwajibkan untuk menjadi kritis. Hal ini bertujuan agar proses berpikir dapat dipelajari bersama. Menurutnya, menyinggung itu bukanlah sebuah masalah selama singgungan itu tidak ditujukan kepada hal Suku, Ras, Agama (SARA) maupun apapun yang mengganggu kebebasan orang lain.
“Jadi, batasan dari kebebasan adalah kebebasan itu sendiri,” pungkasnya, (25/11/2021).
Reporter : Fikri’ Ainul Qolbi dan Rifaa Husnul Khotimah
Editor : Akhdan Muhammad Alfawaz
Baca juga: Bak Cerita Bandung Bondowoso, KPUM UMS Ngebet Bangun Pemilwa