Sesuai keputusan Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) baru-baru ini bahwa perkuliahan akan dilakukan secara offline, dengan rincian mata kuliah praktikum 100%, mata kuliah klasikal/tutor/tematik dilaksanakan 75% secara luring, dan 25% secara daring melalui platform yang telah disediakan kampus. Keputusan ini tertuang dalam Surat Edaran Nomor 49/A.2-II/BR/I/2022, ditetapkan pada 15 Januari 2022 lalu.
Mahasiswa angkatan 2020 seperti saya (penulis –red), yang sejak awal menyandang status sebagai mahasiswa belum pernah merasakan perkuliahan secara luring, cukup kaget dengan keputusan ini. Bukan berarti saya tidak mau melaksanakan kuliah luring, tetapi saya sedikit khawatir. Apakah saya dan mahasiswa lain seperti saya mampu beradaptasi dengan kebiasaan yang baru (perkuliahan luring –red).
“Mahasiswa transisi”, adalah sebutan yang saya buat untuk mendeskripsikan diri saya dan mahasiswa lain yang berada di satu angkatan dengan saya. Artinya, dalam hal ini kami dipaksa untuk bisa cepat beradaptasi dengan kebiasaan baru. Virus yang datang secara tiba-tiba ini cukup membuat “mahasiswa transisi” bingung.
Belum lagi adanya masalah-masalah baru yang berasal dari kebiasaan baru itu. Butuh waktu untuk kami selaraskan. Belum sempat menyelaraskan, tetapi sudah harus kembali pada kebiasaan lama. Yang mana hal itu perlu waktu pula untuk membiasakannya.
Menurut saya, keputusan yang diambil oleh para jajaran birokrat kampus sudah sangat tepat dalam hal ini. Saya menilai kalau tingkat efisiensi dari perkuliahan daring sangatlah minim. Misalnya dari sisi pemahaman mahasiswa yang anjlok dikarenakan harus membagi beberapa fokus ketika kuliah online. Saya kira pembaca bisa menangkap apa yang saya jelaskan dalam hal ini.
Mudahnya mengakses perkuliahan secara daring justru cenderung tidak dioptimalkan oleh kebanyakan mahasiswa dalam pembelajaran itu sendiri. Inilah yang saya rasakan selama kuliah daring, terlepas itu dari rasa malas dari diri sendiri. Faktor lainnya adalah sistem. Mahasiswa bisa saja masuk ke dalam room kuliah tanpa dosen ketahui bahwa mahasiswa ini benar mengikuti perkuliahan sebagaimana mestinya.
Belum lagi dengan dosen yang tidak terlalu memperhatikan mahasiswanya, yang dalam hal ini direpresentasikan dengan tidak mengisi kuliah lewat platform online seperti Google Meet atau Zoom. Kuliah menggunakan Schoology ataupun aplikasi semisal dengan itu, saya pikir sangat tidak efisien dalam memasukkan pemahaman materi terhadap mahasiswa.
Ketika perkuliahan sudah offline kembali, saya kira mahasiswa mau tidak mau harus terjun lagi ke kampus dengan berbagai persiapan yang ada. Mulai dari bangun pagi, menyiapkan pembelajaran, berangkat ke kampus, dan lain sebagainya. Lagi-lagi sistem offline yang kemudian memaksa mahasiswa harus beradaptasi dengan kebiasaan baru itu.
Hal ini berbeda 180 derajat dengan yang terjadi saat kuliah daring. Cukup dengan menggerakkan jari tanpa membuka mata saja, mahasiswa sudah dapat teridentifikasi hadir dalam kelas. Ini yang membuat kebanyakan mahasiwa luput dari berbagai macam pembelajaran.
Berdasarkan data yang saya ambil dari kuisioner yang dilakukan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Agama Islam (FAI) UMS terhadap kesiapan mahasiswa FAI mengenai kegiatan kuliah luring semester gasal 2021, data ini diisi oleh 817 responden mahasiswa FAI UMS. Sebanyak 80% telah siap untuk melaksanakan kuliah secara luring. Sedangkan jumlah lain menunnjukkan kesiapannya di semester ganjil yang akan datang.
Menurut saya, dari data ini menunjukkan bahwa mahasiswa sudah mulai muak dengan pembelajaran yang serba online, karena dinilai tidak lebih efektif jika dibandingkan ketika kuliah dilaksanakan secara offline.
Lagi-lagi, inilah pentingnya adaptasi oleh mahasiswa terhadap sistem yang kerap berubah-ubah. Dari luring ke daring, daring menuju semi luring, hingga semi luring ke luring total. Kecepatan adaptasi mahasiswa sangat diperlukan di sini. Karena jika tidak, hal ini akan mempengaruhi dunia akademik mahasiswa itu sendiri.
Sejauh ini saya menemukan ada beberapa mahasiswa yang merasa tidak siap akan peralihan sistem ini. Bahkan, ada yang meminta kuliah online ditangguhkan hingga dirinya lulus. Ini juga memberikan indikasi bahwa lingkungan kampus dinilai tidak efisien dalam menuntut ilmu, terlepas dari kemungkinan bahwa mahasiswa tersebut malas atau alasan lainnya.
Kemungkinan tadi saya kira bisa menjadi kritik terhadap kampus itu sendiri. Entah itu karena sekelumit masalah soal pelecehan seksual, masalah senioritas, sampai pelayanan ataupun fasilitas yang minim juga patut dijadikan bahan evaluasi bagi pihak kampus dalam memperbaiki kualitas pendidikan di UMS.
Regulasi mengenai kejahatan seksual di kampus, atau masalah-masalah intra di unit kegiatan mahasiswa (UKM), saya pikir harus segera diselesaikan oleh pihak kampus demi terciptanya iklim pendidikan yang nyaman.
Yang harus menjadi perhatian juga adalah kesiapan dosen dalam mengajar secara luring. Jangan sampai mahasiswa yang sudah semangat untuk mengemban ilmu, tiba-tiba hancur ketika mendapati dosen yang kurang aktif dalam memberikan materi kuliah. Pembaharuan metode dalam mengajar haruslah dilaksanakan demi menunjang kebutuhan mahasiswa.
Penulis : Kowalski (nama pena)
Editor : Aliffia Khoirinnisa