(Tulisan ini pernah dimuat di Koran Mahasiswa Pabelan Pos Edisi XI/11 Tahun II Februari 1994 Rubrik Sorot Kampus pada tahun 1994, ditulis oleh Suryadi dan ditulis ulang oleh Aliffia Khoirinnisa)
Pada masyarakat umum terdapat anggapan yang cukup meremehkan yaitu bahwa lulusan perguruan tinggi dinilai tidak siap pakai. Padahal nyatanya mahasiswa saat ini menempati posisi yang terpandang baik dari pola pikirnya yang telah maju maupun segi lainnya. Namun, yang patut dijadikan bahan pertimbangan juga yaitu pertanyaan mengenai kemampuan mahasiswa untuk dapat bekerja, atau bahkan yang mampu menciptakan lapangan kerja dan sebaik apa hasilnya.
Pada kenyataannya, tidak semua pendidikan tinggi mampu mencetak lulusan yang siap bekerja. Banyak faktor yang menyebabkan mereka berada pada kondisi menganggur, terlebih adanya pandemi Covid-19 yang memiliki peran besar dalam keterhambatan kegiatan produktif dalam hal ini adalah bekerja. Lulusan perguruan tinggi yang telah memperoleh pekerjaan pun masih perlu berada dalam pembinaan untuk memperoleh profesionalitas di bidangnya.
Dalam sebuah dialog dengan mahasiswa, Ing Wardiman Djojonegoro yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia membenarkan anggapan mengenai lulusan mahasiswa perguruan tinggi yang “tidak siap pakai, namun siap dibina,”
Maka, setelah mengetahui keadaan yang demikian, menjadi keharusan bagi para mahasiswa sebagai bakal calon lulusan perguruan tinggi untuk mempersiapkan diri sedini mungkin agar kelak dapat bersaing dan mampu terpakai saat terjun di dunia kerja. Apalagi mengingat ungkapan “Best student today, best leader tomorrow” atau diterjemahkan menjadi “mahasiswa yang baik diharapkan menjadi pemimpin baik di masa depan”.
Persiapan untuk Terjun ke Dunia Kerja
Salah satu bentuk persiapan yang dapat dilakukan mahasiswa sebagai calon produk perguruan tinggi adalah meningkatkan kemampuan keilmuan baik berupa hardskill maupun softskill. Kemampuan tersebut dapat didapatkan lewat banyak cara, mulai dari mengikuti seminar, pelatihan di bidangnya, hingga meningkatkan wawasan dan pengetahuan dengan membaca.
Kalangan civitas academica terutama mahasiswa dipandang sangat lekat dengan khazanah keilmuan dan identik dengan buku. Namun seiring berjalannya waktu, kecintaan mahasiswa akan buku kian menurun. Maka yang kerap kali terjadi setelah mereka (mahasiswa –red) mencapai gelar kelulusan yaitu kualitas mereka cenderung berkurang. Mereka beranggapan bahwa kuliah hanya sekadar mengejar ijazah. Tak heran apabila kelompok tersebut kurang semangat mempelajari disiplin ilmu.
Untuk dapat mengatasi permasalahan di atas perlu adanya kerja sama dari semua pihak agar minat membaca dalam peningkatan disiplin ilmu dapat tercapai. Kerja sama dari mahasiswa dan lembaga pendidikan sebagai penyedia fasilitas diperlukan untuk pengembangan dan perawatan fasilitas penunjang keilmuan, dalam meningkatkan kualitas proses belajar.
Fungsi pendidikan bukan hanya mencetak lulusan yang berkualitas, tetapi juga harus bisa menciptakan pakar yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Sebab itu, institusi penyelenggara pendidikan tinggi harus dapat memprediksi dan mempunyai konsep yang jelas dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Pihak lembaga pendidikan diharapkan memperhatikan dan menyediakan sarana prasarana yang sesuai dengan sumbangan pembangunan pendidikan yang diperoleh dari mahasiswa. Selain itu, juga penting untuk mempertimbangkan tenaga didik akademik yang berkualitas dan edukatif guna mendorong peningkatan proses belajar dari mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa.
Editor : Mulyani Adi Astutiatmaja