Perguruan tinggi sebagai tempat menimba ilmu bagi mahasiswa tak hanya menyajikan ilmu teori-teori keilmuan saja. Ada juga banyak dinamika, perkembangan, dan pengalaman lain yang dapat dirasakan oleh para mahasiswa dalam rangka mempersiapkan masa depannya kelak.
Dalam dunia perkuliahan, tipe mahasiswa bisa dikategorikan setidaknya menjadi dua bagian. Pertama, mahasiswa akademis. Mereka seperti mahasiswa umumnya yang menghabiskan waktunya untuk urusan perkuliahan. Biasanya, kegiatannya diisi dengan program kuliah, belajar, mengerjakan tugas, membuat laporan, praktikum, hingga presentasi. Mahasiswa akademis disibukkan dengan kegiatan akademik kampus, untuk proses persiapan mengejar karir di bidang yang dipilih.
Sementara golongan lainnya adalah mahasiswa aktivis. Sebenarnya mahasiswa aktivis juga merupakan mahasiswa biasa yang mengikuti kelas-kelas perkuliahan, mengerjakan tugas, membuat laporan, praktikum, dan lain sebagainya. Perbedaanya adalah di luar kegiatan akademik keseharian mereka, para mahasiswa aktivis ini terjun ke luar lingkup perkuliahannya. Terjun dalam masyarakat untuk mengambil peran dan ikut memperjuangkan keadilan melalui pengawalan-pengawalan kasus di segala aspek, baik ekonomi, sosial, budaya, maupun politik.
Para mahasiswa aktivis memperjuangkan pendapat yang menurut mereka tepat untuk dikawal, dan menjadi oposisi bagi hal yang tidak sesuai dengan idealisme mereka. Tak jarang bahkan mereka dengan berani mengambil risiko untuk aksi pengawalan dan membersamai pihak yang dikawal.
Mereka turut mengorbankan tenaga, pikiran, waktu bahkan kuliah demi sesuatu yang menurut mereka harus ditegakkan, yaitu keadilan. Hal ini memberikan warna berbeda dan menjadikan para mahasiswa aktivis memiliki nilai lebih dalam hal kepedulian sosial.
Status sebagai mahasiswa juga memungkinkan mereka untuk mengambil peran aktif dalam permasalahan sosial yang mungkin terjadi. Mahasiswa aktivis memungkinkan mereka bukan hanya menjalani peran sebagai pelajar, tetapi juga bagian dari masyarakat yang membantu tegaknya keadilan.
Selain itu menjadi mahasiswa aktivis juga membawa keuntungan lain di antaranya memperluas relasi, pengalaman, dan pengetahuan yang kadang tidak didapat dalam ruang kelas.
Bentuk pengawalan dari mahasiswa aktivis tidak hanya terbatas pada aksi-aksi dan demo saja. Namun juga dapat dilakukan dengan perantara lain, di antaranya melalui kegiatan diskusi dan konsolidasi, tulisan-tulisan opini untuk pengawalan kasus, dan aksi kemanusiaan dengan mengadakan acara donasi.
Irawan bisa dibilang sebagai mahasiswa aktivis. Ia merupakan mahasiswa asal Kota Solo yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Dirinya menempuh pendidikan di Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI). Ia juga menjadi santri di Pondok Shabran yang mengharuskannya untuk bergabung dengan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Lewat IMM ia telah berperan aktif dalam dunia mahasiswa. Ia pernah menjadi Ketua Umum IMM Pondok Shabran, menjadi peserta dalam Baret Merah sebuah agenda perkaderan IMM yang membahas perihal filsafat. Ia juga pernah menjadi peserta dari Pendidikan Kader yang dilaksanakan oleh Kementrian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Republik Indonesia pada tahun 2021 di Jakarta.
Sebenarnya, ia telah aktif di organisasi sejak masa sekolah. Merasa berada di titik balik kehidupan, ia menyadari bahwa keaktifannya di organisasi berdampak baik bagi dirinya sediri dan lingkungan. Pada akhirnya, keaktifan itu berlanjut di dunia perkuliahan yang kemudian membuatnya menjadi seorang aktivis.
Selain aktif di IMM, ia dulunya juga aktif di Himpunan Mahasiswa Prodi (HMP) dan juga Badan Eksekutif Mahasiswa-Fakultas (BEM-F). Namun saat ini, ia sudah tidak aktif lagi di HMP dan BEM-F. Untuk saat ini ia aktif di dunia aktivis mahasiswa, bela diri, musik, dan dunia kepenulisan hingga menjadi Pimpinan Redaksi di kalimasawa.id.
Dalam kalimasawa.id tersebut tak jarang dirinya juga melakukan pengawalan terhadap suatu kasus melalui opini-opini dan tulisan yang diterbitkan.
Menurutnya, sudah semestinya mahasiswa menjadi seorang aktivis. Namun, ia juga beranggapan bahwa jika semua mahasiswa menjadi aktivis maka dunia perkuliahan tidak akan seimbang. Karena mahasiswa pasif yang tetap bertumbuh juga menjadi hal positif.
“Menjadi aktivis itu baik, menjadi pasif itukan subjektif seseorang dan kita tidak bisa nge-judge. Cuma yang kita tahu untuk kebermanfaatan menjadi aktif atau pasifkan lebih baik aktif,” ungkapnya, (11/3/2022).
Dengan menjadi seorang aktivis, katanya, ia mampu mengembangkan lifeskill, softskill, serta kemampuan komunikasinya. Selain itu, menjadi mahasiswa aktivis juga menambah jaringan dan hubungan relasinya dengan orang lain.
Walaupun sejujurnya ia mengakui bahwa menjadi mahasiswa aktivis juga mampu mengganggu perkuliahannya, tetapi karena gangguan tersebut adalah hal yang positif maka tidak menjadi masalah baginya.
Hal yang perlu diperhatikan yaitu manajemen waktu yang baik, untuk membagi porsi antara kegiatan aktivis dan perkuliahannya.
Berbicara perihal prinsip hidup, Irawan mengungkapkan bahwa ada sebuah kalimat yang mampu membuatnya tertampar. Kalimat itu berupa “tanda hidup adalah bergerak, tanda bergerak adalah memberi perubahan. Jika kamu hidup tapi tidak memberi perubahan berarti kamu mati dalam kehidupan”
Ia percaya bahwa dalam kehidupan, ketika kita ingin memberikan perubahan maka hal kecil yang ia lakukan adalah bergerak. Karena menurutnya, perjuangan merupakan pelaksanaan kata-kata. Sehingga, jangan menginginkan perubahan jika tidak ada keinginan untuk bergerak. Akan tetapi, dalam pergerakan juga diperlukan keseriusan dan kefokusan pada diri.
“Mau gimanapun yang penting fokus gerak saja, dihargai atau nggak dihargai itu urusan belakang,” ungkapnya (12/3/2022).
Reporter : Rifaa Husnul Khotimah
Editor : Aliffia Khoirinnisa