Suasana pada malam itu cukup tenang seperti hari-hari biasanya. Di ruangan tempat Kuliah Kerja Nyata atau KKN kami yang cukup luas ini, sebuah lampu menyala tepat di atas kepala. Jika memandang disekeliling ruangan, sudut-sudut rumah terlihat gelap. Kami bertujuh duduk melingkar di atas karpet sembari menikmati hidangan makan malam. Suara sendok yang beradu dengan piring, tutup stoples yang terbuka dan tertutup, serta sendawa beberapa orang bak pengganti alunan musik di sebuah restoran yang menemani santap malam kami. Satu-persatu dari kami mulai meletakkan piring tanda berakhirnya santap malam ini. Anisa yang duduk di sebelahku mulai membuka suara.
“Berhubung tadi siang Pak RT nggak ada, kalau besok gimana?” matanya menatap sekeliling untuk mencari tanggapan. Aku mengangguk, diikuti beberapa orang. Mengingat esok hari, sesuai jadwal kegiatan yang telah ada kami hanya akan mengajar anak sekolah dasar, maka tidak masalah jika kegiatan biasanya diganti kegiatan yang lain.
“Gimana, Ga?” tanya Dita pada Yoga yang mulutnya masih mengunyah. Hanya dia yang masih sibuk dengan makanannya.
“Iya udah nggakpapa, gampang.” ucap Yoga selaku ketua kelompok KKN kami.
“Eh Nis, besok murid-muridnya tetap tujuh orangkan? Jadi masing-masing anggota dapat satu murid?” Dita meyakinkan Anisa sebagai anggota kelompok yang berasal dari desa ini. Hampir semua hal yang berhubungan dengan desa ini, seperti program kerja dan kegiatan yang ada di desa diketahui oleh Anisa.
“Iya, tadi Tari bilangnya gitu. Jadi dia bakal bawa teman-temannya besok,” jelas Anisa singkat. Tari adalah anak kecil yang tinggal di depan Posko KKN kami, dan dia senang sekali bermain dan mengunjungi kami.
“Udah kan? Ayo cerita-cerita kayak kemarin lagi dong!” Aku mengernyitkan dahi mendengar ajakan Dita. Kemarin aku sempat kembali ke tempat kos karena sakit, jadi tidak mengetahui cerita apa yang telah mereka bagikan.
“Kalian cerita apa emang?” tanyaku spontan.
“Oh iya, kemarin Rina nggak ikut ya?” balas Dita sembari menyuapkan sesendok nasi.
“Iya, kemarin Rina sama Yoga kan balik ke kos,” Anisa menambahi.
“Tahu nggak, kemarin kita semalaman ngomongin cerita horror Rin. Terus habis itu, kita ke kamar mandi bareng-bareng. Ditemani sama anak cowok juga.” Aku hanya sedikit terkekeh mendengar penjelasan dari Dita. Mereka membagikan cerita horror, tapi merasa ketakutan sendiri. Ditambah suasana rumah tradisional tempat Posko KKN kami, menambah kengerian sehingga siapapun tidak ada yang berani untuk ke kamar mandi sendirian.
“Eh ini beneran mau cerita lagi?” tanya Rafi, cowok dengan rambut yang cukup panjang.
“Iya, kan ada kalian, nanti cuci piring sekalian nemenin cewek-cewek ke kamar mandi.” Anisa kembali melanjutkan kalimatnya, “Kamu lagi deh Rafi, ceritain rumah nenek kamu.”
“Yaudah jadi gini….” Kami semua memperhatikan Rafi yang memulai ceritanya.
Awalnya dia hanya membicarakan kondisi fisik dari rumah kayu yang ditepati neneknya. Hingga akhirnya bagian horror yang ditunggu-tunggu pun bermunculan. Aku yang merasakan kengerian oleh cerita yang dialami oleh Rafi. Kepalaku langsung membayangkan kondisi rumah yang belum pernah aku datangi itu sekaligus kengerian yang terjadi.
Di tengah-tengah suasana yang serius ini, kami dikejutkan dengan suara tikus yang lewat diujung rumah, diikuti dengan sapu lidi yang terjatuh begitu saja. Kami tidak menghiraukan hal tersebut karena memang sudah biasa. Di rumah ini banyak sekali tikus besar yang berkeliaran di atap maupun lantai rumah.
“Eh tunggu, perasaan aku nggak lihat sapu itu deh sebelumnya.” Suara berat Rehan membuatku dan juga teman-teman menoleh ke arah pojok ruangan yang tampak gelap dengan karung beras yang berjejer rapih.
“Apa sih , nggak usah mengada-ngada deh. Kan sapunya udah ada disitu dari awal.” Anisa membantah ucapan Rehan yang terkesan menakut-nakuti kami. Tatapan yang Rehan berikan saat melihat pojok ruangan itu, sukses membuat bulu kudukku berdiri.
Suasana yang sejak awal sudah mencekam makin bertambah oleh cerita yang Rafi. Apalagi setelah aku melihat gawaiku sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
“Iya kan Fi? Kamu juga lihat kan?” Sikut Rehan menyenggol lengan Rafi untuk mencari saksi yang sama dengannya.
“Iya bener, aku juga dengar suara sapu yang dipakai tapi cuma sekali.” alih-alih mengharapkan Rafi yang masih tampak berfikir, Dito yang sedari awal hanya diam membuka suara. Kami melempar pandangan satu sama lain.
“Heh, sudah-sudah! jam berapa ini?” rengek Dita yang duduk di sebelahku, air mukanya menunjukkan bahwa dia sangat kesal.
“Jam setengah sebelas,” balasku.
“Nah, karena sudah malam, kita tidur aja sekarang. Ayo-ayo!yang cowok, jangan lupa cuci piringnya ya!” Dita kembali menjelaskan sembari menunjukntumpukan piring kotor.
Ada rasa penasaran yang mengganjal dihatiku perihal sesuatu yang dilihat oleh Rehan, karena beberapa kali aku menangkapnya sedang menatap pojok ruangan yang gelap itu. Namun, aku mengurungkan niat dan memilih ikut berbenah bersama teman-teman yang lain. Sesekali aku melirik bagian gelap itu untuk memastikan sesuatu yang aku sendiri tidak tahu.
Keesokannya, sama seperti hari sebelumnya kami berkumpul untuk makan bersama setelah itu mengevaluasi kegiatan yang telah dilakukan sekaligus kegiatan yang akan dilakukan selanjutnya. Setelah pertemuan malam ini, kami segera berbenah. Seperti biasa teman-teman cowok akan mulai mencuci piring sebagai pembagian tugas, karena para cewek sudah memasak makanan.
“Ya Allah, kaget!” Saat aku sedang melipat karpet, tiba-tiba saja burung-burung yang berada di dalam sangkar berbunyi dengan kompak, seperti ada sesuatu yang sedang memberikan makan. Aku hanya mengerutkan dahi dengan menatap burung-burung itu.
“Jangan melamun. Kamu mau ke kamar mandi juga nggak? Sekalian saja bareng.” Aku menoleh ke arah Dita yang muncul di sampingku dengan membawa piring-piring kotor di tangannya.
“Iya aku ikut!” kataku sembari meletakkan karpet tersebut dan menyusulnya.
Sebenarnya Anisa beberapa kali meyakinkan kami bahwa rumah neneknya ini tidak menyeramkan. Namun, mengingat fisik dari rumah ini yang sudah tua, menurutku ada hal yang memang dia sembunyikan dari kami.
Selepas dzuhur, kami bertiga anggota perempuan berkumpul di dapur untuk memasak makan siang. Saat masing-masing kami bekerja sesuai bagian, Dita mulai menceritakan sesuatu yang cukup serius.
“Aku mau tanya deh sama kalian. Tadi malam ada yang dengar suara langkah kaki diseret nggak?” tanya Dita. Aku yang sedang menggoreng lauk sedikit tertarik dengan pertanyaannya. Kursi plastik disebelah aku tarik dan mulai duduk.
“Enggak Dit. Itu neneknya Anisa kali, dia kalau malam kan sering ke kamar mandi.” Aku menyahutnya dengan cepat. Memang benar, aku beberapa kali menangkap suara pintu kamar milik neneknya tersebut terbuka di malam hari, diikuti suara langkah kaki yang lambat.
“Iya aku tahu, tapi neneknya itu kalau jalan lambat. Yang ini cepet!” Dita masih ngotot dengan perkataannya. Anisa hanya diam sembari memotong beberapa tahu dan juga tempe, seakan dia menyembunyikan sesuatu. Sedangkan aku mulai mencerna kembali ucapan Dita sekaligus hal-hal yang aku temui.
Sampai pada akhirnya, cerita Dita itu selaras dengan yang dilihat oleh Tari. Dia bercerita bahwa dirinya melihat sesosok bayangan besar diujung ruangan, yang jika dilihat seandainya makhluk itu dari luar maka otomatis melewati depan kamar tidur anggota perempuan.
Beberapa hari berlalu dan aku tak menghiraukan hal-hal janggal yang terjadi padaku. Bahkan kami pun memutuskan berhenti membicarakan kisah-kisah horror, karena kami merasa atmosfer rumah ini sudah mulai berbeda. Kami semua memfokuskan diri untuk menyelesaikan tugas-tugas proker lainnya.
Tidak terasa waktu telah berlalu, dan kami sudah melakukan acara penarikan siang ini di Kantor Kepala Desa. Aku dan teman-teman yang lain, mulai mengemasi barang-barang kami, karena besok pagi sudah harus meninggalkan Posko KKN ini.
“Temani aku ke kamar mandi, yuk.” Aku menganggukan kepala untuk mengiyakan ajakkan Dita.
“Yaudah ayo, aku juga sekalian mau cuci muka.” Kami berdua bangkit dan berjalan menuju kamar mandi tersebut. Sampai di depan kamar mandi, aku teringat sabun cuci mukaku tertinggal di kamar, sehingga aku harus kembali sendiri untuk mengambilnya.
Dengan langkah cepat aku melewati ruang makan kecil yang gelap. Dalam satu detik mataku sedikit terbelalak, tetapi berusaha untuk berpikir positif. Ekor mataku baru saja menangkap sesosok makhluk yang tengah berdiri tegak menggunakan pakaian berbaju putih. Apapun itu aku hanya berpikir bahwa itu hanyalah imajinasiku. Namun, keesokan harinya saat sedang sarapan di luar bersama Dita dan menceritakan hal tersebut, ternyata ia melihat hal yang sama denganku.
Sampai saat ini Anisa belum membuka suara tentang hal-hal mencurigakan yang terjadi di rumah neneknya. Aku dan Dita pun memutuskan untuk tutup mulut dan membiarkan cerita ini hanya untuk kami berdua. Meskipun ada sedikit rasa penasaran yang mengganjal, tetapi aku tidak ingin memaksa Anisa untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada rumah tersebut.
Penulis : Nisrina Dwi Cahyani
Mahasiswa Aktif Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor : Anisa Fitri Rahmawati