Budaya nongkrong bukanlah hal yang asing di kalangan anak muda, khususnya mahasiswa. Nongkrong sebagai ajang bersosialisasi dan hiburan lumrah dilakukan oleh para mahasiswa.
Di tengah padatnya kegiatan perkuliahan, mulai dari akademik sampai non akademik, ada kalanya mahasiswa memerlukan rehat sejenak barang beberapa saat. Dalam hal ini, mahasiswa tak perlu lagi merasa risau. Kini telah bermunculan spot-spot berkumpul di beberapa daerah, khususnya daerah kampus yang membuat banyak dari kalangan mahasiswa menjadikannya sebagai tempat yang cocok untuk nongkrong. Tidak hanya nongkrong, terkadang para mahasiswa menghabiskan waktunya untuk mengerjakan tugas di tempat tersebut.
Banyaknya mahasiswa yang beraktivitas di sekitar kampus menjadikan kafe dan tempat-tempat berkumpul yang ada di sekitar kampus menjadi ramai. Pilihan tempat untuk nongkrong pun sangat bervariasi, mulai dari coffee shop, restoran, hingga warmindo, dan burjo.
Banyak dari kalangan mahasiswa yang memilih tempat yang cocok untuk nongkrong sesuai mood dan mencari yang harganya bersahabat dengan dompet mahasiswa.
Terlepas dari di mana tempat nongkrong, para mahasiswa yang melakukan aktivitas tersebut memiliki tujuan yang berbeda-beda pada tiap orang. Sebagian mahasiswa biasanya menjadikan nongkrong sebagai bentuk kegiatan yang bermanfaat, misalnya nongkrong sambil mengerjakan tugas, bertemu dengan orang terdekat, ataupun hanya berkumpul untuk ngobrol agar menghilangkan penat setelah berkutat dengan pelajaran di kelas.
Reporter Pabelan-online.com berkesempatan berbincang santai dengan Latifah Rizky Amelia salah satu mahasiswa dari Program Studi (prodi) Manajemen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), di salah satu coffee shop daerah UMS. Latifah mengungkapkan, tempat yang dipilihnya untuk nongkrong tidak hanya coffee shop saja, tetapi bisa juga yang lainnya asalkan dengan harga yang sesuai kantong.
“Kalau tempat nongkrong random ya, biasanya coffee shop tetapi untuk coffee shop yang seperti apa itu tergantung mood dan kantong juga,” ungkapnya, Sabtu (4/6/2022).
Ia berpendapat, kegiatan nongkrong ini ada baiknya dilihat lagi tujuannya. Jika hanya untuk bermain dan bersenang-senang, maka sebaiknya dilakukan secukupnya dan tidak lupa akan waktu. Apalagi sebagai mahasiswa tentu harus bisa memanajemen waktunya sebaik mungkin dengan kewajibannya sebagai pembelajar.
Tidak dipungkiri bahwa nongkrong juga memiliki dampak negatif maupun positifnya. Salah satu bentuk dampak negatif yaitu menyebabkan waktu terbuang percuma, bisa menyebabkan kurang tidur, bahkan hanya sekadar pamer di media sosial.
Namun, terlepas dari dampak negatif yang ada, nongkrong juga memiliki dampak positif. Misalnya saja seperti berdiskusi masalah mata kuliah, masalah organisasi, nongkrong sambil mengerjakan tugas, bahkan bisa mempererat tali silaturahmi dengan yang lain.
Lanjut Latifah, baik dan buruknya dari aktivitas nongkrong, tergantung pada tujuan pribadi orang yang melakukan kegiatan tersebut.
Ia sendiri menjelaskan, bahwa dirinya melakukan aktivitas nongkrong untuk refreshing dan mencari suasana baru. Selain itu, katanya, untuk menyelesaikan pekerjaan sampingannya yakni sebagai konten kreator.
“Biasanya untuk menyelesaikan kerjaan, seperti foto endorse atau take content, bertemu teman atau orang lain, sampai mengerjakan tugas. Kalau cuma ngopi gitu jarang,” tuturnya.
Selain itu, untuk durasi waktu nongkrong mahasiswa biasanya bervariasi, ada yang hanya satu sampai dua jam, bahkan ada yang sampai berjam-jam lamanya hingga malam hari. Hal ini berkaitan dengan tujuan maupun isi topik yang dibahas, seperti topik yang serius dan menyangkut kepentingan khusus untuk dibahas atau hanya sekadar obrolan ringan saja.
Bicara soal waktu, kebanyakan mahasiswa memilih malam hari untuk melakukan nongkrong. Hal tersebut dikarenakan susasananya yang lebih tenang dan nyaman. Tak jarang mereka pulang hingga larut malam. Akan tetapi, kebiasaan nongkrong hingga larut malam menyebabkan banyak stigma negatif mengenai kegiatan ini.
Banyak yang menganggap bahwa kebiasaan nongkrong yang sampai larut malam akan menyebabkan stigma negatif dari beberapa orang. Kendati demikian, menurut Latifah, hal tersebut tidak bisa dibenarkan juga, karena kembali lagi bahwa tujuan mereka melakukan nongkrong seperti apa dan hal apa saja yang dilakukan.
Di lain lokasi, Ristra Inez Salsabila, seorang mahasiswa Prodi Ekonomi Pembangunan (EP) UMS berpendapat, kini bisnis kafe atau coffee shop saat ini banyak terdapat di berbagai daerah, salah satunya di daerah sekitar lingkungan kampus. Hal ini dikarenakan banyak mahasiswa yang suka nongkrong.
Menurutnya, mahasiswa menjadikan kafe sebagai tempat main bersama teman-temannya karena suasananya yang santai dan cocok untuk berbagi cerita. Akan tetapi, di sisi lain ada juga mahasiswa yang nongkrong dengan tujuan untuk mengerjakan dan diskusi mengenai tugas.
Ia sendiri mengaku, dirinya saat nongkrong bisa menghabiskan waktu sampai empat jam lamanya. Coffee shop yang kekinian atau terkenal biasanya selalu menjadi langganan Ristra untuk dikunjungi.
“Biasanya nongkrong di coffe shop kekinian yang banyak spot menariknya,” tuturnya, Minggu (6/6/2022).
Ia menuturkan, nongkrong sambil mengerjakan tugas membuatnya lebih cepat selesai karena dikerjakan dengan fokus, dan setelah selesai dapat mengobrol atau bersantai dengan teman yang lain.
Sama seperti Latifah, Ristra berpendapat kalau malam hari merupakan waktu yang pas untuk mahasiswa nongkrong. Karena susasananya yang lebih tenang dan nyaman. Tak jarang mereka pulang hingga larut malam.
Hal ini menyebabkan banyak stigma negatif mengenai nongkong pulang malam. Akan tetapi ia berpendapat, semua orang memiliki dunianya sendiri yang tidak diketahui orang lain. Jadi stigma mengenai pulang malam hanya dianggap semata.
Reporter : Sabrina Aizya Putri dan Kholisa Nur Hidayah
Editor : Anisa Fitri Rahmawati