Beberapa waktu lalu saya berkesempatan untuk menjadi juri dalam suatu perlombaan menulis esai. Lomba esai yang diadakan itu kurang lebih mengangkat tema pentingnya meningkatkan kapabilitas dan intelektual sebagai modal bermasyarakat. Sebagian besar dari peserta lomba kurang lebih mengambil judul “Pentingnya Mengikuti Organisasi sebagai Modal Bermasyarakat”. Saya menemukan salah satu pandangan peserta mengenai bangku perkuliahan sebagai jalan menuju pekerjaan yang baik di masa depan.
Sebenarnya tak hanya sekali ini saja saya mendapati pandangan semacam itu. Beberapa waktu sebelumnya, saya telah banyak berdiskusi mengenai perihal apa tujuan kuliah sebenarnya. Sebagian besar jawaban mengarah pada kehidupan yang layak di masa depan dengan pekerjaan yang lebih baik. Bagaimana pun saya tidak akan menyalahkan tujuan siapa pun ketika memilih untuk kuliah.
Namun, hal ini menjadi kegelisahan tersendiri bagi saya untuk mencari tahu sebenarnya apa sejatinya tujuan mencari ilmu? Saya tidak ingin lulus kuliah dengan tujuan yang saya anggap kurang tepat. Meski pada umumnya masyarakat akan menganggap bahwa kuliah untuk tujuan mendapat pekerjaan yang lebih baik itu wajar. Akan tetapi perlu diketahui bahwa tidak semua kewajaran adalah kebenaran.
Sumber Pemikiran Pendidikan sebagai Alat Mobilisasi Sosial-Ekonomi
Wan Mohd, dalam buku Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al Attas menjelaskan pemikiran yang secara umum dipahami, bahwa pendidikan adalah untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik datang dari para sarjana Barat. Ada dua orientasi yang dipakai untuk menjelaskan konsep tujuan pendidikan, yaitu orientasi masyarakat dan individu.
Orientasi masyarakat berangkat dari asumsi bahwa manusia adalah social animal dan ilmu pengetahuan dibina atas dasar kehidupan bermasyarakat. Asumsi ini melahirkan pandangan bahwa pendidikan dalam masyarakat harus bisa mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi segala perubahan yang ada.
Sedangkan orientasi individu terdapat dua pandangan. Pandangan yang pertama menitikberatkan tujuan pendidikan pada pencapaian kesuksesan hidup bermasyarakat dan ekonomi, jauh lebih berhasil dari yang pernah dicapai orang tua. Dengan kata lain, pendidikan adalah jenjang mobilitas sosial-ekonomi suatu masyarakat tertentu.
Pandangan kedua menekankan pada peningkatan intelektual, kekayaan, dan keseimbangan jiwa peserta didik. Pada dasarnya, pendidikan Islam tradisional memandang bahwa keberhasilan individu dan kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun akhirat merupakan cita-cita serta tujuan pendidikan yang terpenting. Namun, filsafat pendidikan yang memfokuskan pada individu perlahan digeser oleh pandangan kemasyarakatan sejak umat Islam berada di bawah pengaruh pemikiran dan institusi-institusi Barat.
Bahkan, mereka yang melihat pendidikan dalam orientasi individu lebih condong memakai pandangan yang pertama dengan berusaha meraih keberhasilan sosial-ekonomi bagi peserta didik dengan harapan untuk memperkuat status sosial-ekonomi negara.
Dominasi sikap seperti itu dapat melahirkan patologi psiko-sosial, yang dikenal dengan sebutan “penyakit diploma”. Penyakit diploma adalah usaha untuk meraih suatu gelar bukan karena kepentingan pendidikan itu sendiri, melainkan karena nilai-nilai sosial-ekonomi.
Tidak ada yang salah jika seorang menempuh pendidikan untuk memperbaiki keadaan perekonomian atau memiliki keinginan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Namun, perlu disadari tujuan yang lebih besar dalam pendidikan adalah untuk mencapai keridaan Allah SWT. Karena hal ini kembali pada hakikat tujuan kehidupan manusia sebagai hamba Allah, maka setiap yang dilakukan termasuk tujuan pendidikan adalah kembali kepada Allah SWT.
Boleh saja jika kita memiliki tujuan lain berkaitan dengan hakikat keduniaan dan hubungan vertikal kehidupan, tetapi jangan sampai tujuan lain ini mengalahkan tujuan yang lebih besar, yaitu untuk mencapai keridaan Allah SWT. Wallahu’alambishshawwab.
Penulis : Firman Hardianto
Mahasiswa Pendidikan Fisika Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang
Editor : Ashari Thahira