Kasus salah satu mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) yang ditangkap oleh Detasemen Khusus (Densus) 88, mengindikasikan adanya pengaruh radikalisme di lingkungan kampus. Dalam kasus ini memunculkan pertanyaan mengenai seberbahaya apa pengaruh radikalisme di kalangan mahasiswa. Reporter Pabelan-online.com berkesempatan berbincang dengan Wibowo Heru Prasetyo, Kepala Program Studi (Kaprodi) dan dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) untuk mengulik dan menangani isu ini pada Jumat, 17 Juni 2022.
Apa maksud dari radikalisme menurut Bapak?
“Isu radikal sebenarnya sudah lama terjadi dan menjadi sebuah problematika di seluruh dunia. Setelah adanya peristiwa World Trade Center (WDC) yang terjadi pada 9 September, isu radikalisme mengemuka dan seakan-akan menjadi bom waktu yang dapat meledak di manapun, termasuk di Indonesia. Kemudian di Indonesia terjadi penyerangan bom di Bali, Surabaya, dan Jakarta, tentu terorisme menjadi konsen dari suatu negara. Menurut saya radikal itu wajib, orang Indonesia yakin kepada Pancasila adalah radikal karena radikal berasal dari kata radix yang mempunyai arti berakar kuat. Misalnya, seorang muslim harus memiliki iman yang kuat. Namun sekarang telah terjadi pergeseran makna, kata yang dipilih dan dikampanyekan akhirnnya berubah menjadi konotasi negatif. Terkait isu mahasiswa di lingkungan kampus kita mengartikan radikal yang mengimplikasi terorisme itu bisa terjadi di tempat manapun, termasuk kampus.”
Menurut Bapak, apa penyebab adanya radikalisme di kalangan mahasiswa?
“Adanya keingintahuan yang besar untuk mencoba hal baru yang harus dipuaskan. Menurut saya itu hal yang sangat penting, karena keingintahuan adalah ibu kandung dari pengetahuan. Siapa yang akan memuaskan keingintahuan itulah yang menjadi perebutan berbagai kepentingan. Kampus ingin memuaskan pengetahuan mahasiswa dengan memberikan materi, kuliah, dan kurikulum. Yang kedua, ketidakpuasan terhadap kondisi. Umumnya ia merasa adanya ketidakadilan atau bahkan menjadi korban dari ketidakadilan itu. Dan dia merasa, dirinyalah yang dapat mengubah itu semua, serta di-trigger dengan bacaan, pergaulan, dan komunitas yang memperbesar perasaan itu.”
Bagaimana tanggapan Bapak akan isu radikalisme di lingkungan kampus?
“Kampus itu kan sebenarnya adalah tempat di mana semua bentuk gagasan itu mendapatkan kemewahan generasi muda. Anda bisa belajar dari manapun dan bertemu dengan siapapun itu adalah kemewahan karena di kampus itu difasilitasi. Ada anak banyak belajar mata kuliahnya saja tetapi juga bisa belajar atau membaca buku yang lain yang tidak ada kaitanya dengan prodi, berbeda dengan sekolah kebebasan pada tingkat perguruan tinggi itu tentu akan mendapatkan kemerdekaan, makanya sekarang ada merdeka belajar. Jauh sebelum adanya program Merdeka Belajar, kampus itu sudah ter-setting sebagai istilahnya ada mimbar bebas. Kebebasan mimbar akademik menjadi salah satu prinsip di dalam kebebasan untuk berbicara, bebas untuk belajar, ya, apa saja. Pada akhirnya orang akan harus siap dengan konsekuensinya kalau misalnya ada mahasiswa, dia terafiliasi atau memiliki pemikiran radikalis fanatisme yang berlebihan seperti ke arah ISIS sangat mungkin terjadi. Kalau itu kan masih kita perlu validasi, tetapi saya yakin ini menjadi kesepakatan umum, di mana saya pikir lingkungan kampus sangat mungkin bahwa simpatisan ISIS itu biasa saja jika masuk di kampus.”
Bagaimana tanggapan Bapak terkait kasus mahasiswa UB yang ditangkap Densus 88 terkait ISIS?
“Sekarang bagaimana pandangan mahasiswa dan dosen merespons radikalisme itu. Sebagai dosen saya akan bersikap secara hati-hati. Artinya jangan sampai selanjutnya saya men-judge dan mengatakan bahwa mahasiswa kemudian tidak boleh untuk belajar apa pun, nanti malah kebebasan itu tidak terjadi. Akan tetapi anda harus tahu bahwa anda bisa belajar dari manapun tentang apa pun dari siapapun, tetapi anda harus tahu konsekuensinya. Pada akhirnya semua kembali kepada pilihannya masing-masing.”
Bagaimana cara menghindari indoktrinalisasi radikalisme?
“Sebagai pelajar tentu mendapatkan pendidikan pengajaran tentang nilai-nilai berkebangsaan, itu sebagai bekal untuk membentuk budaya aturan dan hukum kita. Maka ketika ada pandangan yang tidak sesuai edukasi itu tidak dapat selesai sekali dua kali. Kalau anak-anak menunjukkan ‘gelagat’ baik dari tulisan, omongan, dan tindakan yang mengarah kepada nilai-nilai radikalisme yang tidak sesuai dengan perbedaan kita sebagai bangsa Indonesia tentu kita harus mengingatkan. Namun, kalau kemudian itu ranahnya sudah di luar kita itu menjadi tanggung jawab dari pihak lain. Contohnya melakukan tindakan-tindakan seperti di UB tadi, itu sudah menjadi kewenangan pihak yang berwajib. Kita tidak bisa menjamin apa yang dikonsumsi seseorang, kita hanya memastikan di lingkungan kita tidak akan terjadi hal-hal seperti itu.”
Bagaimana bahayanya indoktrinalisasi radikalisme di lingkungan kampus?
“Ada peribahasa mengatakan, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Di beberapa kampus melarang mahasiswanya untuk menggunakan penutup wajah atau cadar, kebijakan di kampus tersebut pun menjadi perdebatan, karena ada yang mengatakan bahwa itu sebagai ekspresi beragama. Lantas kemudian dikaitkan dengan budaya, maka kita harus hati-hati karena perbincangan di media sosial itu kadang tidak mengindahkan norma-norma berbangsa dan bernegara. Kita harus berada di titik tengah bahwa hal tersebut adalah ekspresi beragama yang harus kita hormati. Kalau di UMS ada yang bercadar masih diterima, selama ia taat aturan dan tidak melakukan pelanggaran hukum sebagai bagian dari ia mengekspresikan keyakinannya. Saya sepakat akan hal tersebut dan masih banyak indikator lain di luar dari penampilan seseorang.”
Bagaimana peran kampus untuk mencegah radikalisme?
“Beberapa hal yang paling utama ketika seorang mahasiswa (UMS –red) masuk di kampus itu dia mendapatkan pembekalan yang biasa disebut masa taaruf, bahwa suasana akademik di kampus itu seperti apa, struktur akademik bagaimana, pergaulannya bagaimana, tata aturannya bagaimana itu yang yang kita sampaikan agar dipahami oleh mahasiswa. Di semester awal ada mata kuliah Kewarganegaraan, Pancasila, Baitul Arqam, Kemuhammadiyahan, dan sebagainya menjadi bekal untuk memperdalam ajaran agama untuk meningkatkan kualitas kepribadian dan karakter mahasiswa, sehingga tetap berada pada jalur Islam watsaniyah.”
Upaya apa yang perlu dilakukan agar terhindar dari paham radikalisme?
“Adanya program anti-radikalisme saya pikir perlu, tetapi sering digunakan secara politis untuk memojokkan lawan-lawan politik. Kampus itu tempatnya pertempuran ide, jangan kemudian ide itu diperhangus dengan program-program yang berbaju wacana tertentu. Di UMS menurut saya tidak perlu ada program anti-radikalisme. Namun di UMS sudah dibekali dari mata kuliah kepribadian dan keagamaan.”
Bagaimana agar mahasiswa memilih pergaulan atau komunitas yang aman tanpa radikalisme?
“Semua kampus, saya pikir, tidak akan punya sistem untuk memonitor mahasiswanya secara sempurna dan tidak akan mungkin memenjara pikirannya. Oleh sebab itu yang bisa dilakukan kampus adalah memastikan organisasi dan komunitas yang ada di lingkungan kampus sebagai wadah yang produktif dan positif. Karena masa muda, dalam hal ini mahasiswa, harus terpuaskan secara energi dan pikiran. Kampus harus menyiapkan banyak ruang-ruang ekspresi bagi mahasiswa baik di akademik, kesenian, organisasi, dan macam lainnya, agar mahasiswa terpuaskan energi dan pikirannya. Akan tetapi karena kebutuhan tiap orang berbeda, jika mahasiswa berinteraksi dengan komunitas di luar, yang bisa dilakukan kampus adalah implikasi dari mahasiswa yang tergabung dalam komunitas itu tidak menghasilkan perilaku yang kontraproduktif. Kampus akan menindak sesuai wewenang kampus, jika ranahnya pidana maka menjadi urusan pihak berwajib.”
Apa harapan Bapak terkait adanya isu radikalisme di kampus?
“Manfaatkanlah kemewahan belajar keilmuan di perguruan tinggi, belajar apa pun boleh. Namun yang terpenting apakah anda tahu bahwa hal itu akan berguna bagi anda. Kemudian anda juga harus tahu konsekuensinya bagi anda. Dengan adanya dosen, pertemuan ilmiah, organisasi mahasiswa, dan seminar-seminar sebagai pengasah kebutuhan dan hal yang dipelajari.”
Reporter : Shafy Garneta Maheswari dan Yuniyar Hazhiyah
Editor : Novali Panji Nugroho