Judul: Funiculi Funicula (Before The Coffee Gets Cold)
Penulis: Toshikazu Kawaguchi
Terbit: Jepang, 2015
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Keempat, September 2021
Halaman: 224 halaman
ISBN: 9786020651927
Funiculi Funicula adalah novel dari Jepang yang juga telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Cerita bermula dari pengunjung yang datang ke Kafe Funiculi Funicula. Kejadian-kejadian setelah para pengunjung alami, baik dan buruk, akan membawa mereka kembali mengunjungi Kafe Funicula Funicula, agar bisa menemui seseorang yang telah ditemuinya. Mereka tetap mencoba memberanikan diri untuk mengikuti peraturan-peraturan yang telah ada sejak kafe tersebut didirikan, karena jika mereka tidak bisa menyanggupi dan mentaati banyak peraturan tersebut, mereka akan menjadi hantu penggati yang duduk di kursi penjelajah waktu.
Toshikazu Kawaguchi, penulis dari novel ini menggambarkan cerita lewat time travel atau kisah perjalanan waktu yang ringan dan mudah dimengerti. Sehingga para pembaca tidak akan merasa kebingungan. Sampul depan memiliki gambar yang menarik dan unik, bisa menambah esensi ketika ingin dijajarkan pada lemari buku. Novel ini juga cocok dijadikan sebagai kado, tetapi novel ini memiliki rating usia minimal 15 tahun bagi yang ingin membacanya.
Novel ini memang tidak terlalu tebal, jadi bisa diselesaikan dalam satu kali baca. Penulis membuat kalimat-kalimat yang tersusun sudah lumayan rapi secara keseluruhan. Si penulis pandai memainkan kata, sehingga para pembaca bisa berimajinasi dengan mudah terkait latar tempat dan tokoh atau karakternya khas cerita buatan Jepang membuat cerita di novel ini sangat mudah dibayangkan di kafe tersebut.
Akhir cerita dari buku ini sangat menakjubkan, cerita ditutup persis saat klimaks berlangsung, yang mana ditutup dengan kebahagiaan.
Gaya kepenulisannya lumayan sedikit berbeda, hingga perlu beradaptasi saat membacanya, tetapi cerita dalam novel ini tetap bisa dinikmati. Mengingat buku ini adalah salah satu buku terjemahan dari Jepang.
Dalam cerita terdapat tokoh yang menurut saya penting, yaitu hantu penunggu kursi untuk ritual menjelajahi waktu. Hanya saja, tidak diceritakan dengan gamblang, padahal menurut saya tokoh tersebut merupakan yang ditunggu ceritanya. Ada beberapa kesalahan kepenulisan yang sebenarnya cukup mengganggu. Di awal bab terkesan agak membosankan, sehingga saya agak lamban membaca dan melajutkan ke halaman-halaman berikutnya. Sisi kemisteriusan dan sensasi berdebar-debar saat membacanya terasa masih kurang.
Ada kutipan dalam buku ini yang cukup menarik perhatian saya, berada di halaman 58, “Kenyataannya memang tidak akan berubah. Memang seharusnya tidak berubah”. Maka dari itu, terkadang terlintas pikiran jika berpergian tidak mengubah satu hal pun, lalu apakah semua itu layak dijalani?
Dan ada satu hal yang menarik juga di awal bab buku ini, yakni pada alimat “There were three large antique wall clocks in the cafe. The arms of each, however, showed different times,”. Membuat saya teringat nasihat para ulama, yakni sejatinya kita hanya miliki tiga waktu dalam hidup, yaitu hari kemarin, hari ini, dan besok.
Penulis : Alya Rahmawati Dewi
Mahasiswa Aktif Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor : Anisa Fitri Rahmawati