Judul Buku : Tirai Menurun
Penulis : N.H. Dini
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Kelima, 2019
Jumlah Halaman : 461 halaman
Karya-karya pengarang N.H. Dini selalu menyajikan kisah yang hangat dan mengalir. Gaya kepenulisannya yang khas keperempuanan selalu menghadirkan cerita-cerita yang mengambil kesan mendalam. Salah satunya adalah novelnya berjudul Tirai Menurun, menyajikan cerita kehidupan paguyuban wayang orang.
Novel ini pertama kali terbit tahun 1993 mengisahkan perjalanan hidup empat tokoh yang saling berkaitan, yakni Kedasih, Sumirat, Kintel, dan Wardoyo.
Para tokoh ini akhirnya saling bersinggungan dalam suasana kehidupan paguyuban wayang orang bernama Kridopangarso, yang salah satu pendirinya ialah Pak Carik, seorang ayah dari Wardoyo.
Perjalanan hidupnya yang naik turun, senantiasa dalam kejaran gunung api yang memuntahkan laharnya. Beruntung kemudian mereka sekeluarga berakhir di Muntilan untuk berdiam, dan Pak Carik mendapat posisi sebagai salah satu pemimpin di Paguyuban Wayang Orang Kridopangarso.
Di Muntilan, Wardoyo yang sedari kecil memang tekun belajar dan membaca, mulai “membaca” kehidupan yang sesungguhnya di bawah pengawasan ayahnya.
Selain menjadi anak wayang, tenaga dan keterampilannya yang semakin meningkat juga disalurkan untuk membantu melengkapi paguyuban yang baru berdiri saat itu. Ia belajar berlakon, menembang, menata dan membuat dekorasi, serta merancang kostum anak wayang. Bahkan, Wardoyo berlatih mengelola pementasan itu sendiri.
Pak Carik sekeluarga tentu amat bangga pada anak lelakinya. Keahlian Wardoyo ini juga dilirik oleh Pak Cokro sebagai pimpinan Kridopangarso
Seiring berjalannya waktu, di bawah bimbingan Dalang Tirto dan seorang bangsawan kerabat keraton, Mas Samadi, Wardoyo muda mulai mengenal hitam-putih kehidupan pekerjaan malam melalui perkenalannya dengan anak wayang, sebutan bagi orang-orang yang bekerja sebagai pelakon dalam paguyuban wayang orang.
Hal yang mengarahkannya untuk menikah dengan Rusmini, sri panggung Kridopangarso, setelah kehamilannya yang tak tertutupi.
Kemudian, Wardoyo yang semakin matang bertemu dengan Kedasih dan Sumirat, keduanya adalah anak magang baru dalam paguyuban tersebut.
Ia melihat keduanya memiliki potensi yang cukup besar sebagai seniman panggung. Sementara para ibu dari kedua anak tersebut, Kedasih dan Sumirat, sebenarnya menyayangkan keputusan dua anak gadisnya untuk menjadi anak wayang karena profesi tersebut yang selalu mendapat predikat hina dan dicap sebagai wanita penggoda.
Mereka menginginkan anaknya masing-masing agar terus bersekolah dan memiliki pekerjaan yang baik sebagai guru atau karyawan. Namun apa mau dikata, kedua gadis itu telah jatuh hati pada dunia anak wayang.
Sementara Kintel, yang yatim piatu dan tidak mengetahui asal-usulnya dipungut adik oleh Yu Irah, seorang wanita pembisnis yang ulet. Oleh suatu rahasia, Yu Irah memerlukan keberadaan Kintel bagi kehidupannya.
Di sinilah ia berkenalan dengan Wardoyo, yang membantu persiapan tujuh bulanan kehamilan Yu Irah. Dengan sendirinya ia kemudian lekat sebagai penonton tetap Kridopangarso.
Dalam Novel ini, N.H dini sebagai penulis menceritakan para tokohnya melalui tahapan hidup yang digambarkan dengan pembabakan pentas wayang orang. Dari masa kecil, masa muda, dewasa, hingga akhir cerita yang ditutup oleh Tancep Kayon, atau penutup dalam pentas wayang.
Novel ini juga membagikan sisi lain kehidupan anak wayang yang pada masa itu dipandang rendahan karena pekerjaan mereka sebagai wong mbarang atau pengamen. Pekerjaan di dunia malam ini sering dipandang lekat dengan kemaksiatan mabuk, judi, serta main perempuan.
Sehingga bukan hal yang aneh jika Sumirat ataupun Kedasih yang sempat bekerja di sebuah toko mendapat perlakuan kurang menyenangkan karena dipandang sebagai wanita murah dan penggoda.
Di luar itu semua, sesungguhnya anak wayang tetaplah manusia biasa yang menjalani kehidupan lainnya selayaknya orang-orang dengan harga diri. Seperti ketika Wardoyo dikhianati oleh istrinya, ia kemudian berakhir pada cinta barunya dengan Sumirat.
Sama halnya dengan Kedasih yang ditinggal menikah oleh kekasihnya, memilih memantapkan hatinya pada Kintel yang patah hati mengetahui Sumirat lebih memilih Wardoyo.
Di sisi lain, ia sangat mengagumi Wardoyo dan merasa bahwa Sumirat bersama Wardoyo adalah pasangan yang pas.
Sebagaimana babak kehidupan, keempat tokoh tersebut mengalami keguncangan dengan meninggalnya Pak Cokro. Apalagi Wardoyo, yang terpukul hingga tak dapat menyembunyikan tangisnya. Bersamaan dengan itu wayang orang mengalami krisis di tengah kondisi masyarakatnya yang serba sulit.
Apalagi kepemimpinan Darso, keponakan Pak Cokro yang mengatur paguyuban itu secara serampangan. Kehidupan sulit mereka masih harus diakhiri dengan meninggalnya Wardoyo, sebagai orang yang dituakan, meninggalkan seorang Sumirat menjanda bersama dua anak mereka.
Penulis: Aliffia Khoirinnisa
Mahasiswa Aktif Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor: Anisa Fitri Rahmawati