Larut malam, dalam bayangan rembulan yang tertutup awan itulah Arif terduduk di halte terdekat dari kampus tempatnya menempuh jenjang studi. Nyaris tengah malam, ia menunggu bus malam terakhir yang mungkin tiba. Hanya berteman bulan temaram.
Sebagai mahasiswa yang aktif turut ambil bagian dalam riset penelitian dengan dosennya, pulang jauh malam merupakan hal yang biasa ia jalani. Pemuda ambang 20-an dari pulau seberang itu tahun ini tidak mendapat kesempatan untuk pulang kampung.
Arif terpaksa harus menghabiskan liburan semesternya di kota orang. Bergelut dengan penelitian yang sering kali memusingkan kepalanya.
Ia menyesali bujuk iming-iming Pak Anwar, dosen mata kuliahnya yang menawarkan peluang untuk lulus lebih cepat. Arif merasa sayang untuk melewatkan kesempatan emas tersebut.
Pendanaan yang cukup besar tentu juga dapat menopang sebagian biaya hidupnya. Apalagi ia sudah enggan untuk lebih lama lagi berjibaku di bangku perkuliahan.
Cuti selama dua semester akibat kecelakaan yang cukup parah yang dialaminya, menjadikan Arif cukup tertinggal oleh kawan-kawannya seangkatannya. Itu adalah masa-masa paling menyenangkan dalam hidupnya, juga memberikan pembelajaran penting.
Bahwa bersenang-senang sembari merusak masa muda itu adalah hal yang mudah dan banyak caranya, hampir semua hitam merah itu telah dicobanya. Beberapa di antaranya masih sering kambuh, menjadi kebiasaan yang sulit terlepas.
Ia merenungkan jalan hidupnya yang selama ini terjadi. Untuk dapat berkuliah baginya juga bukan hal mudah, ia sadar tak dapat memenuhi biaya perkuliahannya hanya dengan beasiswa.
Maka selain kerja sambilannya yang hanya beberapa shift per minggu, riset yang ditawarkan dosennya itu cukup menjanjikan. Tak hanya itu, hal itu bisa dirasakan sebagai suatu jalan pintas, mengepak sayap lebih cepat dari kemandekannya selama ini.
Sebuah taksi biru berhenti tak jauh dari halte tempatnya terduduk. Seorang wanita berpakaian minim yang berdandan penuh, terlempar darinya.
Tertatih-tatih wanita itu tampak memegangi kakinya yang lecet menghantam jalanan aspal, mungkin juga terkilir. Ia merebahkan diri di bangku halte, tak jauh dari Arif. Keduanya diam.
Wanita, yang ditaksir seumuran dengannya itu tampak berusaha menghubungi seseorang. Berkali-kali terdengar dering nada panggilan tidak terjawab dari speaker handphone-nya yang cukup keras.
“Biasa aja kali liatnya, Mas,” katanya menghadap Arif yang tak berkedip menatapnya. Ini klien saya selanjutnya,” katanya menjelaskan tanpa diminta, tangannya mendekatkan telepon selulernya ke telinga.
Tak lama ia menggerutu karena rupanya klien itu tidak menjawab panggilannya. Dan memutuskan menelpon teman untuk menjemputnya pulang.
“ Kampus X juga?” tanya wanita itu. Arif mengangguk ragu.
“Mbaknya darimana?”
“Dari jauh, jauh sekali dari sini, hihihi….,” wanita itu mengikik geli, mengeluarkan sebungkus rokok mentol dan mulai menyulutnya.
“Kamu, jurusan apa?” Arif yang kaku berusaha mengimbangi obrolan wanita itu.
Karena berasal dari almamater yang sama, obrolan cukup dapat mengalir. Pembicaraan seputar kabar-kabar di kampus cukup mencairkan suasana. Wanita itu akhirnya mengetahui, Arif tengah terlibat dalam suatu riset penelitian di kampus mereka.
“Kamu enak, masih punya pilihan buat ada di sisi putih. Punya nama baik, terpandang. Nah, aku? Buat makan saja harus dihina-hina begini dahulu,”suara wanita itu ketus.
“Sebenarnya kamu kenapa?” tanya Arif menatapnya.
Kemudian wanita yang bahkan tak diketahui namanya oleh Arif itu tertunduk, merapatkan kedua tangannya memeluk diri.
“Ia rindu akan pelukan,” batin Arif.
Dengan terputus-putus, wanita itu menceritakan kerinduannya pada ibunya yang ada di penjara beberapa tahun lalu.
Terakhir kali ingatan masa kecilnya adalah ketika dilihat punggung ibunya digelandang oleh bapak-bapak polisi masuk ke dalam ruang tahanan, belasan tahun lalu kala ia masih bersekolah dasar.
“Seseorang berusaha menutup kedua mataku dan membujukku untuk lekas pulang. Maling apalagi wanita, jarang terjadi bahkan hampir nggak pernah ada kasus itu di kampungku. Aku nggak punya bapak, sekarang ya kayak gini, nggembel sendirian.” keluh wanita itu.
Sejak itu ia harus bermandiri tinggal menumpang dari saudara satu ke saudara lainnya. Sebuah keputusan yang disesalinya, karena harga yang harus dibayarkan adalah pelecehan yang diterimanya sedari usia belia, dari orang yang diharapkan perlindungannya.
“Di dunia, nggak ada yang gratis, semua ada bayarannya,” katanya mengakhiri kisah panjang itu. Ia mendongak ke atas, menahan matanya yang telah merupa kaca.
Arif menghela nafas perlahan tak sanggup bertanya lebih jauh, diangsurkannya sebungkus tisu yang dibawanya. Hening, kecuali suara serangga malam dari pepohonan tak jauh dari mereka.
Beberapa tuna wisma mulai menggolerkan diri pada lembar-lembar kardus dan koran di depan pertokoan yang tutup.
Rupanya kalimat terakhir dari wanita itu adalah penutup percakapan mereka, cukup lama suasana hening yang canggung itu berlangsung. Arif tak berani menoleh pada wanita itu lagi.
Tak lama wanita itu dijemput motor oleh ‘teman lelakinya’. Pergi tanpa pamitan seakan percakapan itu tak pernah ada dan tak pernah terjadi.
Arif diam-diam tersenyum, diliriknya notifikasi gawainya yang penuh panggilan tak terjawab. Membatalkan rencana pesanan wanita malam buat menghangatkan malamnya nanti.
Penulis: Aliffia Khoirinnisa
Mahasiswa Aktif Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor: Ashari Thahira