Generasi muda dan dunia pendidikan merupakan dua dimensi utama yang sering menjadi topik pembahasan dan mendapatkan perhatian khusus dalam perspektif pembangunan nasional. Generasi muda yang menjadi titik tumpu bagi keberlanjutan peradaban suatu bangsa, tentunya harus memiliki pemahaman dan kemampuan yang cakap dalam menjalankan fungsi sosialnya. Permasalahan yang demikianlah, pada akhirnya mendorong pemerintah untuk terus meningkatkan kesempatan belajar bagi generasi muda Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah bahkan tidak hanya memfokuskan diri pada pendidikan dasar, menengah, atas, atau kejuruan saja. Lebih dari itu, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) maupun kementerian terkait lainnya terus berusaha untuk mendorong peningkatan kesempatan belajar di tingkat pendidikan tinggi dan memperbaiki kualitas pendidikan tinggi nasional.
Belum selesai usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kesempatan belajar di pendidikan tinggi dan perbaikan kualitas pendidikan nasional, pemerintah dewasa ini justru dihadapkan pada permasalahan baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Permasalahan baru tersebut adalah sifat konsumerisme mahasiswa yang mengalami peningkatan dalam beberapa waktu terakhir. Argumentasi demikian didukung dengan penelitian dari Commonwealth Bank, yang menghasilkan fakta bahwa 47% generasi muda Indonesia memiliki gaya hidup boros dan mengalami kesulitan dalam menabung. Budaya boros akibat kebiasaan yang konsumtif menjangkiti sebagian besar mahasiswa Indonesia. Sifat konsumerisme yang dimiliki oleh sebagian besar mahasiswa, semakin jelas terlihat ketika banyak mahasiswa yang beralih penggunaan gadget.
Berkembangnya tren peningkatan strata sosial melalui penggunaan gadget bermerek iPhone, secara tidak sadar telah berhasil mendorong segelintir mahasiswa untuk beralih penggunaan gadget biasa menuju iPhone. Pada dasarnya, permasalahan ini terletak pada nilai sosial yang berkembang dalam kehidupan mahasiswa saat ini. Dalam jangka waktu yang panjang, kondisi yang demikian tentu dapat berdampak buruk terhadap kemajuan dan keberlangsungan dunia pendidikan di Indonesia. Akan ada banyak mahasiswa atau calon mahasiswa yang memilih untuk mengundurkan dirinya dalam menempuh pendidikan tinggi, karena ketidakmampuannya dalam turut serta menyesuaikan diri dengan perkembangan sosial yang ada di sekelilingnya. Hal yang demikian tentu berpotensi berakibat fatal pada penurunan angka pendidikan tinggi di Indonesia.
Dunia pendidikan Indonesia, tak ubahnya akan kembali menjadi kesempatan mahal yang tidak dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Pendidikan tinggi seolah-olah akan menjadi titik pusat pengembangan kemampuan berpikir kaum borjuis dan akan menjadi titik pusat pengabaian hak kaum menengah dan kaum proletar dalam menikmati kesempatan yang sama. Meskipun sifat konsumerisme mahasiswa dapat membawa keuntungan bagi para pelaku usaha, tetapi dalam jangka panjang sifat yang demikian dapat mengubah budaya bangsa yang bekerja keras untuk mendapatkan apa yang dimaunya.
Dengan berlandaskan hal yang demikian, maka langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah, civitas academica, dan bahkan orangtua, antara lain adalah:
Pertama, menanamkan dan memberikan contoh yang relevan terkait sifat sederhana kepada anak sejak dini. Penanaman budaya hidup sederhana yang dilakukan bersama dengan pemberian contoh kepada anak menjadi suatu tindakan yang harusnya dilakukan oleh kebanyakan orang tua sejak dini. Dengan diberikan pemahaman dan contoh yang nyata dalam kehidupan, anak akan lebih mampu untuk membaca hal tersebut sebagai suatu perintah yang harus dia lakukan dalam hidupnya. Pola pikir anak yang meniru orang tua akan tersugesti lebih dalam ketika dia mendapatkan contoh yang nyata dalam kehidupannya.
Kedua, memberikan pemahaman yang benar terkait dengan tata cara pengelola keuangan. Setelah berhasil menanamkan pemahaman mendasar tentang pola hidup sederhana, tahapan selanjutnya yang harus dilakukan oleh orang tua adalah memberi edukasi yang benar tentang pengelolaan keuangan. Pemberian edukasi yang benar tentang pengelolaan keuangan menjadi langkah penting yang harus dilakukan. Pola hidup sederhana harus didukung dengan pemahaman pengelolaan keuangan yang benar. Namun perlu diingat, bahwa pemberian edukasi keuangan yang benar dilakukan kepada anak yang berusia 12 tahun ke atas. Karena pada usia inilah, anak akan lebih mampu untuk memahami penjelasan tentang pengelolaan keuangan yang diberikan.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2022 menunjukkan bahwa ada tren kenaikan dalam literasi dan inklusi keuangan masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, indeks literasi keuangan dan indeks inklusi keuangan SNLIK tahun 2022 adalah sebesar 49,68% dan 85,10%. Angka tersebut meningkat cukup signifikan dibandingkan dengan indeks literasi keuangan dan indeks inklusi keuangan SNLIK tahun 2019 yang hanya sebesar 38,03% dan 76,19%. Dengan meningkatnya indeks literasi keuangan dan indeks inklusi keuangan masyarakat Indonesia, diharapkan masyarakat akan lebih mampu untuk melakukan pengelolaan keuangan dengan bijak.
Ketiga, menjadi pendengar dan penjelas yang baik terkait segala pertanyaan anak tentang situs jual beli atau platform jual beli online. Berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi telah berimplikasi luas dalam kehidupan manusia, termasuk dalam hal ini adalah tentang aktivitas jual-beli. Transaksi ekonomi yang pada awalnya dilaksanakan secara konvensional dengan mempertemukan penjual dan pembeli dalam suatu tempat, mulai bergeser kepada transaksi modern yang hanya mempetemukan penjual dan pembeli melalui platform jual beli online. Pada dasarnya, hal ini tidak terlalu berpengaruh signifikan jika pembeli selalu teliti dan membaca terlebih dahulu setiap produk yang diperjualbelikan. Namun akibat tingkat literasi masyarakat Indonesia yang rendah, pada akhirnya transaksi jual beli online menjadi salah satu kegiatan yang cenderung merugikan.
Dalam hal ini, orang tua—baik di di rumah dan lingkungan kampus—harusnya menjadi guru yang membimbing dan mendengarkan seluruh pertanyaan anak yang berkaitan dengan jual beli online dengan baik. Orang tua juga dituntut untuk jauh lebih paham tehadap perkembangan teknologi informasi, dibandingkan anaknya. Orang tua harus mampu untuk menjelaskan fitur-fitur, kelebihan, dan kekurangan dari platform jual beli online yang akan dipergunakan oleh anak. Orang tua juga harus mampu untuk memaksa anak untuk mau melakukan literasi terlebih dahulu, sebelum menggunakan fitur platform jual beli online, terutama fitur beli sekarang bayar nanti (paylater).
Penulis: Nur Rohma Pudjiastuti
Mahasiswa Aktif Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Â
Editor: Kholisa Nur Hidayah