Kasus pemberedelan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon masih terus bergulir, kini tiba pada tahap persidangan. Dalam persidangan ini hakim dinilai kurang progresif karena tidak melihat persoalan secara global, dan lebih menyoroti kedudukan penggugat yang dianggap tidak memiliki legal standing karena lewat dari masa kepengurusannya.
Hal ini menambah panjang barisan daftar kurangnya demokrasi mahasiswa dalam memperoleh keadilan sebagaimana mestinya. Mahasiswa yang dalam kasus ini berniat menjalankan kerja jurnalistiknya sesuai kode etik, dalam membela para korban penyintas kekerasan seksual, malah mendapat intimidasi yang berakibat dibubarkan tempat mereka berkegiatan dan produktif.
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dimaksudkan sebagai wadah mahasiswa dalam belajar, memperoleh pengalaman, bersolidaritas, kritis, dan aktif malah mendapat hambatan dari kampusnya sendiri. Padahal fungsi tersebut semestinya difasilitasi dengan sebaik-baiknya tak ubahnya UKM lainnya. Tindakan pembungkaman ini menunjukkan masih kurangnya ruang bagi mahasiswa untuk merawat kekritisannya.
Sejatinya, ini menunjukkan masih lemahnya posisi mahasiswa, meski dalam lingkup eksternal sekalipun. Mahasiswa sebagai cendekiawan dalam ranah keilmuan dan agen perubahan, harusnya dipersiapkan menjadi generasi emas yang dapat berpikir kritis, kreatif, dan membawa kemajuan di bidangnya.
Adanya pembungkaman ruang berpendapat ini bukan tidak mungkin malah mematikan nalar kritis mahasiswa yang independen. Mahasiswa dikhawatirkan kehilangan suaranya, karena ketakutan akan intimidasi dan kriminalisasi ini. Hal yang dapat berakibat mahasiswa menjadi bermental penurut yang tidak dapat mengambil keputusan dan hanya mengikuti arus, tanpa meninggalkan makna dan gagasan yang bermanfaat.
Pada akhirnya jika intimidasi dan kriminalisasi mahasiswa ini terus terjadi dalam jangka panjang, akan membawa generasi kita ke arah kemunduran. Pihak pemangku kebijakan menjadi otoriter, dan membawa kebebasan akademik ke arah kemunduran pada represifitas di era terdahulu. Maka perlu adanya kesadaran dan evaluasi terhadap penerapan kebijakan dan kebebasan akademik saat ini.
Berkaca pada banyaknya kasus represifitas ini, para pemangku kebijakan harusnya lebih melonggarkan lagi keotoriteran dan defensifnya terhadap suara-suara mahasiswa. Bagaimanapun dengan pembinaan dan diskusi terbuka, akan memudahkan pengambilan keputusan dan pemerolehan hak dan kewajiban dari pihak terkait, guna penyelesaian masalah secara berkeadilan.