Agustus memang identik dengan sorak-sorai perlombaan memperingati hari lahirnya bangsa ini. Tak terkecuali di kalangan mahasiswa, agustus justru identik dengan penerimaan mahasiswa baru (maba). Masing-masing kampus memiliki ciri khas dalam pelaksanaan acara penerimaan mahasiswa baru tersebut.
Belakangan viral di TikTok tentang kasus saling senggol antara Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Tentu hal ini memantik banyak respon dari netizen.
Pada mulanya konten tersebut dibuat oleh seorang mahasiswa baru dari UMS, dalam postingan TikTok tersebut menyindir UGM den[jeg_weather location=”” auto_location=”false” count=”4″ item=”show”]gan prosesi acara ospek yang berpanas-panasan. Hal itu tentunya berbanding terbalik dengan maba UMS yang menjalani proses ospek di dalam gedung yang penuh Air Conditioner (AC).
Ada yang berpandangan bahwa UMS terlalu percaya diri untuk “meledek” kampus nomor dua di Indonesia itu. Ada pula yang berpandangan bahwa hal itu lumrah saja dilakukan maba UMS mengingat biaya yang dikeluarkan sangatlah besar. Ada pula yang berpendapat bahwa itu hanyalah konten yang dijadikan sebagai strategi promosi kampus.
Terlepas dari berbagai kontroversi yang ada, saya mengajak pembaca sekalian untuk memahami perubahan sikap mahasiswa kini. Di lain sisi saya juga akan memaparkan pandangan saya mengenai pemeringkatan kampus-kampus yang ada di Indonesia.
Fenomena yang sedang ramai terjadi ini memberi kesan pada kita bahwa mahasiswa berupaya membanggakan almamaternya sendiri. Tanpa mereka sadari, mereka belum sekalipun memberikan sumbangsih terhadap almamaternya. Mereka berupaya memamerkan peringkat-peringkat itu, tanpa mereka sadari peringkat itu bukanlah hasil kerja keras mereka.
Pada hakikatnya ospek adalah masa pengenalan mahasiswa terhadap lingkungan akademik di kampus. Saya pun menyayangkan jika proses ospek ini hanya dimaknai sebagai acara seremonial. Lebih dari itu, kampus seharusnya mampu memperkenalkan iklim akademik yang ada di kampus, melakukan diskusi, saling bantah-membantah, penanaman karakter mahasiswa dan masih banyak lagi.
Perlu di garis bawahi bahwa tidak ada yang patut di banggakan dari pelaksanaan ospek. Begitu pula dengan peringkat yang ada. Saya kira kampus terlalu sakral kalau hanya untuk dijadikan alat memperoleh peringkat. Lebih jauh lagi kampus adalah cerminan dari masa depan bangsa.
Pemeringkatan ini sedikit banyak telah membawa kita pada pandangan bahwa kampus adalah komoditas jual yang menjanjikan. Peringkat 10 besar tentunya akan menjadi tempat paling banyak dicari peserta didik baru. Tujuan utama sebagai wadah pencerdasan bangsa kian lama semakin menghilang.
Sedangkan persoalan pelik dalam dunia pendidikan kita yang tak kunjung usai. Masalah kekerasan seksual di kampus, pembungkaman berekspresi, Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mahal sampai saat ini masih menjadi isu paling banyak di bahas di lingkup Perguruan Tinggi (PT). Jadi, saya kembali mempertanyakan untuk siapa peringkat ini dibuat?
Belum lagi banyak kampus yang berlomba-lomba membangun citra positif kampusnya masing-masing. Mereka berupaya melakukan apapun itu, sekalipun harus meredam suara-suara yang berupaya membongkar kebusukan yang ada pada kampus tersebut.
Kembali saya tegaskan pada mahasiswa baru, bahwa menjadi mahasiswa bukan hanya tentang melanjutkan jenjang pendidikan. Mahasiswa haruslah menjadi pioner dalam melakukan gerakan sosial, berupaya terus berpikir untuk masa depan bangsa. Pada akhirnya, kalian harus mampu memberikan sumbangan besar bagi kampus maupun masyarakat. Agent of Change, Social Control, Iron Stock adalah kata yang seringkali kita dengar tapi minim realisasi.
Tak perlulah berbangga dengan gedung yang mewah dan peringkat top 10. Hal terpenting adalah bagaimana kita mampu menjadi mahasiswa yang mapan secara intelektual dan bisa membawa perubahan.
Akhir kata saya ucapkan selamat kepada kawan-kawan mahasiswa baru, selamat menempuh pendidikan di kampus pilihan kalian. Jangan lupa untuk terus membaca dan tidak apatis terhadap persoalan masayarakat.
Penulis: Muhammad Iqbal
Mahasiswa Aktif Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor: Kholisa Nur Hidayah