Kampus sudah sejatinya ranah akademik maupun nonakademik merupakan ruang bebas bagi mahasiswanya dalam menempuh pendidikan. Dalam kampus, mahasiswa diharapkan untuk dapat fokus pada pendidikannya tanpa terdistraksi oleh hal-hal yang lain termasuk kampanye politik.
Putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-XXI/2023 memuat larangan total kampanye di tempat ibadah, namun membolehkan kampanye di sekolah dan kampus tanpa atribut.
Reporter Pabelan-online.com berkesempatan mewawancarai Aidul Fitriciada Azhari, Magister Hukum, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) untuk membahas peraturan putusan MK tersebut pada Jumat, 08 September 2023.
Bagaimana tanggapan Anda mengenai isu tersebut yang sedang terjadi saat ini?
“Tentunya hal ini sudah menjadi keputusan MK adanya pelarangan melakukan kampanye di tempat ibadah, akan tetapi diperbolehkan dalam lingkup kampus dengan catatan tanpa adanya atribut partai. Kalau dari segi hukum hal tersebut sudah menjadi suatu putusan, jadi bukan menyoal setuju atau tidak. Melainkan daripada pelaksanaan keputusan tersebut. Jadi tinggal pengaturan teknis pelaksanaanya saja.”
Apakah Anda setuju atas kebijakan ini?
“Saya tidak setuju jika kampus dijadikan ajang kampanye partisan, artinya para pejabat atau petinggi kampus dia mengkampanyekan suatu kelompok atau peserta pemilu. Itu sangat tidak layak, kampus itu harus bebas atau independen, tampil secara akademis, tidak partisan dan netral.”
Siapa yang bertanggung jawab dalam teknis pelaksanaan kampanye ini?
“Pertama, tentu saja Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berurusan langsung dengan kampanye dan penyelenggara Pemilihan umum (Pemilu) yang sah di negara ini. Tinggal diatur saja pelaksanaannya, tentu saja harus berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Saya kira sudah bagus untuk diadakannya kampanye di kampus, ini dapat meningkatkan kualitas kampanye. Di kampus nanti dapat berdialog tidak mungkin hanya berupa monolog saja (dapat membentuk retorika).
Kedua, di kampus memungkinkan kualitas kampanye itu tidak lagi bersifat ceremonial tapi substantif. Hal ini berkaitan dengan isu- isu yang diusung oleh para peserta baik Pemilu Capres (Calon Presiden – Red) maupun legislatif.”
Bagaimana seharusnya mahasiswa dan pihak kampus menyikapi keputusan tersebut?
“Kalau kampus sudah dapat putusan dari pengadilan, laksanakan saja. Bersikap sebagai insan akademis saja tidak usah bersikap sebagai partisan politik. Independensi kampus harus ditegakkan, jangan sampai condong ke kiri atau ke kanan, sudah terbuka saja.
Kampus ini kan sebagai lembaga akademis, tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik praktis, tetapi kampus memiliki komitmen dalam politik kenegaraan. Kalau politik praktis ini kan hanya untuk kepentingan elektoral, sedangkan politik kenegaraan itu kebijakan secara luas.”
Apakah dalam hal ini mahasiswa juga harus melek politik dengan adanya aktivitas kampanye tersebut?
“Saya tidak bisa menilai apakah mahasiswa sekarang melek politik, perkembangan media sosial yang membahas banyak isu salah satunya pada pemilihan presiden ataupun pemilu, saya ragu jika mahasiswa tidak mengikuti hal tersebut. Akan tetapi barangkali hal tersebut berbeda dengan generasi sebelumnya, akan tetapi asumsi saya mahasiswa saat ini melek politik dengan perkembangan komunikasi yang mudah. Karena saat ini terpaan media sosial (medsos) sangat luar biasa.”
Apakah kebijakan baru ini efektif dan efisien?
“Efektifitas akan tergantung pelaksanaannya nantinya, tidak bisa diprediksi. Dalam hukum, efektivitas itu kan dapat dilihat setelah dilaksanakan. Sedangkan untuk kampanye-nya saja baru akan dimulai bulan November sampai Januari. Dapat dikatakan kampanye yang pertama, tanggal pelaksanaannya jelas.
Kedua, ada pemberitahuan terhadap pihak penyelenggara (KPU dan Bawaslu – Red ). Ketiga, materi muatannya. Sehingga misalkan ada kegiatan lain diluar ini tidak dapat disebut kampanye, termasuk adanya bagi-bagi uang (money politic – Red). Kampanye itu jelas, ada aturannya. Kampanye tiga bulan nanti macam-macam, orang-orang mulai bisa melakukan pengumpulan massa melalui medsos.”
Bagaimana harapan yang ingin Anda sampaikan?
“Harapan saya undang saja ketiga (calon presiden – Red) supaya adil. Kalau mengundang hanya dua bisa menimbulkan persepsi lain, karena dunia akademik berbeda. Akan tetapi tergantung daripada calon tersebut bersedia atau tidak, beberapa ada yang bersedia dan ada juga yang menolak.”
Reporter: Hasbiatullah dan Budi Rahayu
Editor: Ridhwan Nabawi