Beberapa pekan lalu publik dihebohkan munculnya kabar mengenai beberapa mahasiswa pada perguruan tinggi di Semarang yang melakukan bunuh diri.
Melansir pada laman Republika.co.id, Hevearita Gunaryanti Rahayu selaku Wali Kota Semarang, pihaknya turut prihatin atas kejadian dua kasus dugaan bunuh diri yang dilakukan mahasiswa di Semarang.
Banyak faktor yang menyebabkan adanya bunuh diri seperti depresi yang berlebih. Oleh karena itu tindakan yang paling penting untuk mendukung atau membantu mahasiswa yang mungkin mengalami kesulitan emosional atau psikologis dengan berkonsultasi.
Kampus memiliki potensi besar untuk menyembuhkan mental bagi mahasiswa melalui layanan kesehatan mental seperti konseling dan terapi. Dukungan orang di sekitar juga mempengaruhi kesehatan mental bagi mahasiswa, sehingga diharapkan mampu memberikan lingkungan yang aman dan nyaman untuk mencari bantuan ataupun dukungan.
Berkenaan dengan hal tersebut, reporter pabelan-online.com berkesempatan mewawancarai Wiwien Dinar Pratisti, salah satu Lektor Program Studi Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mengenai kasus bunuh diri yang tengah menjadi perbincangan pada Kamis, 26 Oktober 2023.
Bagaimana tanggapan Anda mengenai kasus bunuh diri yang dilakukan mahasiswa?
“Sebetulnya jika ada pemberitaan mahasiswa sampai bunuh diri itu sangat memprihatinkan. Nah, sampai kemudian apa yang membuat mereka (mahasiswa – red) kemudian pendek dalam cara berpikirnya.”
Menurut sisi psikologis, apakah faktor-faktor yang menimbulkan hal semacam itu?
“Jika ditelusuri penyebabnya bervariasi. Yang pertama, jejak digital yang negatif itu bisa menjadi penyebab seseorang menjadi depresi dan tertekan. Yang kedua beban kuliah, tugas kuliah bisa menjadi salah satu sebab yang membuat anak atau mahasiswa menjadi tertekan. Yang ketiga, ini situasi transisi dari pandemi ke new normal, sehingga kondisi new normal masih terpengaruh pada saat pandemi.
Saat pandemi seluruh perhatian teralihkan ke dunia digital atau internet, situasi seperti itu mengkondisikan orang hanya fokus ke dunia digital. Akhirnya, orang itu fokus ke internet. Nah, karena terbiasa fokus ke internet dunia yang dulunya disebut dengan dunia maya itu menjadi dianggap seperti dunia nyata. Ketika sekarang dunia nyatanya beralih ke pasca pandemi, harus kontak langsung dengan orang lain, harus adaptasi dengan situasi yang baru, tidak semua manusia siap dengan kondisi itu. Sehingga kemungkinan yang membuat mahasiswa tertekan.”
Menurut Anda bagaimana ciri-ciri atau indikasinya potensi bunuh diri?
“Indikasinya itu kalau yang jelas adalah perubahan perilaku, kalau dulu periang sekarang lebih suka mengurung diri dan suka menarik diri dari pergaulan. Kedua, sering menangis. Yang ketiga, kadang-kadang mulai melakukan self-harm menyakiti dirinya sendiri, bisa memukuli kepala bahkan kadang-kadang menggunakan senjata tajam.
Itu beberapa indikasinya yang cetho (jelas – Red) kalau yang bisa dilihat dari kegiatan sehari-hari biasanya malas mandi, malas makan, tidak mau merawat diri. Sisiran pun tidak mau, kadang di kamar saja. Seperti itu, ciri yang paling sederhana. Kalau ada orang yang ada disekitar yang berbuat seperti itu, jadi berubah sejauh itu coba ditanya kenapa.”
Bagaimana pencegahan tindakan tersebut dalam sisi psikologis?
“Kebetulan ada beberapa kali ada kasus yang masuk ke Biro Konsultasi dan Pemeriksaan Psikologis (BKPP) UMS. Itu juga mahasiswa-mahasiswa yang merasa tadi itu hopeless merasa tidak punya harapan. Merasa overthinking suatu hal yang dipikir berulang-ulang. Nah, untuk menangani kalau sudah mulai merasa ‘Ihh aku ga bener kalo kaya gini’ memang harus disadarkan dulu bahwa kenapa itu dia menjadi malas.
Kenapa ogah-ogahan (keadaan tidak suka dan agak malas –Red) mandi, sebenarnya masalahku ada dimana. Ini kan menanadakan sudah mulai timbul pikiran seperti itu dari yang bersangkutan ‘Aku ga seperti ini deh, biasanya aku seperti ini’ orang itu biasa punya masalah, tetapi paling tau solusinya itu adalah diri sendiri.
Ini yang perlu disadarkan, mungkin mereka perlu bantuan orang lain. Tidak harus psikolog, tetapi orang-orang yang ada di sekitarnya kenal dan dekat dengan emosinya dia. Sehingga ini bisa membantu untuk kembali ke dirinya sendiri. Terus baru nanti kalau misalnya sudah berpikiran positif, kemudian diajak kegiatan lain yang lebih bermanfaat, mau itu olahraga olah seni silahkan. Yang terpenting sedikit-sedikit bergaul dengan orang lain.
Itu akan membuka wawasan tidak hanya terpaku di dunia maya, tetapi mulai melihat realitas itu akan menjadi jauh lebih bijaksana. Paham bahwa dunia sangat luas ada orang yang sangat bervariasi ngga semua orang jahat, sehingga muncul semangat baru yang memperbaiki diri lebih optimis menatap masa depan.”
Apakah ada regulasi kampus terhadap penyediaan layanan kesehatan mental?
“Di UMS ada psikologi terutama itu ada pelayanan di Student Mental Health and Wellbeing Support (SMHWS). Itu seharusnya, kalau mau yang layanan khusus mungkin harus total disini lalu ada Biro Konsultasi dan Pemeriksaan Psikologi (BKPP).”
Bagaimana upaya-upaya kampus dalam menangani kondisi masalah tersebut?
“Menurut saya ketika sudah ada upaya untuk memberikan SMHWS itu sebetulnya adalah bentuk kepedulian kampus terhadap kesehatan mental mahasiswanya. Kan mahasiswa boleh konsultasi disana yang nanti akan dipertemukan dengan psikolog-psikolog yang bisa membantu jika ada permasalahan seperti itu. Jadi, menurut saya kampus sudah cukup peduli dengan kesehatan mental mahasiswa. Cuma mungkin sosialisasinya atau ada informasinya kurang ditangkap jelas oleh mahasiswa sehingga menjadi kurang optimal perannya.
Seberapa penting menciptakan lingkungan dan pertemanan yang sehat guna meminimalisir hal tersebut?
“Penting banget, karena selama ini dikatakan mahasiswa juga termasuk kategori makhluk sosial yang mana membutuhkan dan dibutuhkan orang lain. Jadi, tidak hanya tergantung pada orang lain tapi ada saling ketergantungan dengan orang lain. Kalau saling ketergantungan berarti posisi orang lain itu bersifat menguntungkan simbiosis mutualisme. Itu menjadi penguat bagi individu dalam hal ini mahasiswa.
Pertemanan yang baik dimana mereka bisa istilahnya seperti ‘tempat sampah’ karena bisa menampung semua masalahnya dan mencari solusinya sama-sama. Kemudian ada dukungan perhatian kasih sayang seperti itu untuk menunjang kesehatan mental pada mahasiswa.
Kemudian dukungan orang tua kalau di Indonesia, mahasiswa itu sebagian besar masih ikut orang tuanya. Jadi yang indekos (tinggal dirumah orang lain –Red) sekian persen cukup kecil terkena. Sehingga peran orang tua menjadi faktor yang cukup dominan dalam menumbuhkan rasa sosial atau rasa aman pada mahasiswa. Orang tua juga berperan untuk memberikan perhatian, saran, arahan, bimbingan. Sesuai dengan yang dibutuhkan mahasiswa. Jadi, jangan lelah orang tua itu untuk bisa sesekali bertanya “apakah sudah sholat?” itu bentuk perhatian.”
Pada generasi sekarang bisa dikaitkan seperti buah strawberry yaitu cantik di luar namun lembek di dalam. Mengenai hal tersebut bagaimana pendapat Anda?
“Itu memang sedang ngetrend (menjadi trend –Red) penampilannya cantik kaya gitu. Kenapa begitu, karena saat pandemi mereka fokus di internet, mau cari model yang seperti apa cantik semua. Mau cari tutorial make up juga ada, bahkan fitur-fitur yang ada bisa membuat cantik. Tetapi, psikis psikologinya mungkin agak rapuh, mudah merasa tertekan, down, terpuruk hanya oleh hal-hal yang kecil. Karena dia update status di media sosial dikomentari negatif, kemudian dunia berasa runtuh.
Karena menganggap dunianya itu dunia yang di media sosial, padahal dunia realitas mungkin yang menerima jauh lebih banyak terhadap dia. Ini harus kita kembalikan untuk mahasiswa berpikir seimbang antara realitas dan dunia sosial ini. Jadi, harus diisi kegiatan positif yang rapuh tadi seperti strawberry yang di dalam tidak begitu enak bisa diganti dengan hal-hal yang lebih bermanfaat.”
Seberapa penting mahasiswa untuk melakukan konsultasi jika mengalami indikasi-indikasi tersebut?
“Kalau yang saya tahu itu sepertinya mahasiswa mulai terbuka untuk menyampaikan keluhannya. Nah, keluhannya itu tidak hanya ke Biro Konsultasi dan Pemeriksaan Psikologis (BKPP). tapi bisa saja ke dosen Pembimbing Akademik (PA) atau dosen yang merasa dekat dengan itu lalu disampaikan ke BKPP. Kalau saya itu merupakan PR (tugas –Red) bersama ya, tidak hanya untuk mahasiswa sendiri tapi kita harus sosialisasi kalau punya masalah. Punya hal-hal yang mengganggu segera cari solusinya.
Kalau tidak bisa sendiri cari teman yang bisa berbagi. Boleh teman sesama mahasiswa atau teman-teman yang bisa dipercaya atau orang-orang yang lebih tua atau profesional. Supaya tidak terlalu lama-lama mengalami permasalahan yang membuat menjadi dipikir sendiri hingga kian berat. Itulah tadi muncul menyalahkan diri sendiri, “aku ga bisa, aku ga mampu, aku ga berguna”. Kalau seperti itu munculnya adalah self-harm karena sudah putus asa. Kadang juga lupa kita orang beragama.”
Harapan yang ingin Anda sampaikan terkait fenomena ini?
“Jadi, yang pertama kejadian itu digunakan sebagai informasi yang artinya “oh ada teman yang seperti itu” tapi jangan pola pikirnya. Kemudian mulai memotivasi diri seperti “saya strong (kuat – red), saya bisa mengatasinya secara sendiri.
Jika saya tidak punya teman saya akan melibatkan orang-orang yang ada di sekitar saya untuk berbagi dengan apa yang saya rasakan. Kemudian memilih kegiatan yang untuk mengisi hari-hari supaya tidak terfokus pada media sosial. Dengan kegiatan yang lebih nyata entah itu olahraga, seni, menulis. Hal-hal yang bisa dilakukan supaya waktunya tidak hanya fokus pada media sosial tapi, menjadi hal yang lebih bermanfaat. Untuk mengisi hari-hari yang kosong. Masih banyak orang yang lebih menderita dari saya sehingga saya yang mahasiswa harus lebih peduli kepada kepada orang lain supaya lebih positif percaya diri dalam mengatasi masalah-masalahnya.”
Reporter: Kania Aulia Nazmah Nabilla
Editor: Aliffia Khoirinnisa