Di tengah kemelut persoalan sosial, revolusi kiranya enggan untuk hadir di tengah kehidupan untuk memacu kualitas hidup manusia. Sebagian dari kita enggan untuk menatap tegas kekacauan sosial, enggan mendengar gemuruh konflik, atau sampai pada mengarahkan prioritas sebatas pada kepentingan pribadi atau golongan saja. Ada dua kemungkinan yang dapat diambil dari keadaan tersebut, karena memang tidak tahu harus berbuat seperti apa, atau memang tidak mau melakukan apa-apa.
Namun, bukan hanya soal bertindak atau tidak bertindak, proses isolasi diri yang jahat atau menjadi aktivis yang bertindak dengan kontradiksi batin yang dihadirkan pun bukan menjadi jawaban yang ideal dalam penyelesaian masalah.
Memang pada akhirnya akan menjadi proses panjang untuk memposisikan diri dengan dunia secara utuh, memahami akar permasalahan sosial secara tuntas. Sama halnya, dengan kondisi hubungan pemuda dan dinamika politik saat ini, pemuda menemui pelabelan yang cukup tidak mengenakan. Pemuda yang sering disebut sebagai garda terdepan atau tonggak dari perubahan dinilai begitu apatis akan kondisi perpolitikan negeri.
Peran pemuda sebagai social control, agent of change, moral force, atau pun guardian value di tataran masyarakat kini dinilai mengalami degradasi yang signifikan.
Namun, muncul kembali pertanyaan, apakah pemuda tidak tahu harus berkehendak seperti apa atau memang tidak mau melakukan apapun karena kemuakannya dengan teror narasi politik yang menakutkan. Atau mungkin karena skeptisme yang melaju lebih cepat di masyarakat (kaum tua) soal pemuda. Pemuda saat ini tentu memiliki corak yang berbeda dengan tatanan masyarakat sebelumnya.
Pemuda memiliki khasnya dalam menanggapi permasalahan, menyikapi, dan menyelesaikannya. Hal ini yang kemudian semestinya menjadi perhatian untuk menemukan titik keseimbangan peran pemuda dan lapisan masyarakat lainnya dalam perpolitikan. Pemuda era sebelumnya yang mesti berteriak, membuat eskalasi aksi yang besar untuk mengganggu jalan pikir pemerintah, pemuda saat ini hanya perlu menyuarakan dan memainkan skill medianya untuk mengguncang elit di sana. Artinya ini hanya soal siasat yang digunakan, dan sebetulnya dilakukan secara penuh untuk masyarakat juga.
Lalu, jika dipikir kembali, apakah bisa kemudian pemuda disebut sebagai korban pembungkaman? Karena nyatanya, algoritma mengarahkan dan berusaha melabeli pemuda sebagai lapisan yang tidak berkontribusi untuk negeri, pemuda yang tidak memiliki kepedulian sosial atau istilah apapun itu. Hegemoni seakan begitu rapi dimainkan pemangku kepentingan, tidak hanya pada media saja, namun masuk dunia pendidikan, pemuda (mahasiswa) dibungkam dengan arahan, kebijakan yang mengikat; fokus kuliah, belajar, mengerjakan tugas, skripsi, kemudian lulus.
Begitupun soal kontribusi dan partisipasi dalam proses demokrasi, riset senantiasa menyerukan minimnya partisipasi dan peran pemuda. Lagi-lagi ini seharusnya hanya bukan sekadar riset, namun bagaimana kemudian pemuda ini diberikan pos atau posisi yang sentral dalam pelaksanaanya. Realitas yang ada dalam pesta demokrasi, dominasi kepentingan masih begitu kuat, elit atau pihak berkepentingan masih menjadikan manusianya sebagai prioritas (pemenangan politik).
Artinya kita perlu meninjau bagaimana akses yang diberikan untuk pemuda, bagaimana keseimbangan peran yang diberikan ke pemuda dan lapisan masyarakat lainnya.
Pemaknaan akan partisipasi dan peran saja belum secara tuntas diterjemahkan dalam pesta demokrasi, khususnya untuk pemuda. Apakah pada akhirnya hanya dijadikan basis massa pemenangan saja? Partisipasi politik yang hanya soal suara saja? seharusnya tidak.
Negara rasanya akan cukup merugi apabila menyampingkan pikiran pemuda, bukan nafas segar yang ada, namun nafas busuk syarat kepentingan yang dihadirkan. Dalam pergulatan politik, kemuakan pemuda juga tentang bagaimana proses politik itu berjalan. Politik yang semestinya sesak dengan transaksi ide atau siasat, namun berbeda dengan kondisi saat ini yang sesak dengan transaksi rekening.
Enggan rasanya pemuda untuk mengisi parlemen atau eksekutif, karena yang ditangkap hanyalah soal uang dan modal yang besar. Terlebih di dalamnya, ketimpangan kuasa, senior-junior, kader-pimpinan masih kuat terdengar di telinga. Pemuda yang berkeinginan masuk dalam jajaran, menuangkan ide perubahan, justru terombang ambing karena penguasaan sistem. “Tidak mengikuti sistem, akan mati oleh sistem”, begitu kira-kira kondisi yang ada saat ini.
Pembacaan realitas yang dilakukan dan kritik yang dilayangkan, perlu kemudian menjadi refleksi bagi pemuda sendiri. Sederhana, membaca artikel, berita atau bersosial masyarakat merupakan langkah awal perubahan sikap dan dapat dikatakan sebagai bentuk partisipasi kepada negeri.
Hidupkan api-api kecil pemantikan pikiran kritis, budaya literasi dan bertukar pikiran di lingkungan sebaya. Cukup negeri ini, terlebih kita merasakan muaknya demokrasi.
“Kejahatan yang terkoordinir rapi akan jauh lebih elok, dibandingkan dengan kebaikan yang tidak terkoordinir”, setidaknya kalimat itu yang bisa kita pegang untuk senantiasa merawat nalar dan memberikan kontribusi pemuda untuk negeri.
Penulis: Ezat Indra Saputra
Mahasiswa Aktif Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor: Nimas Ayu Sholehah