Tayangan TV telah merambah kota kecil dan kampung di seluruh Indonesia. Banyak hal positif yang didapat dari kondisi ini, di antaranya adalah masyarakat dapat melihat perkembangan berita aktual di seluruh negeri dengan cepat dan murah. Di samping itu, masyarakat kita juga bisa menyaksikan berbagai kemajuan yang telah dicapai oleh daerah atau negara lain sehingga memacu mereka untuk meningkatkan prestasi lebih giat.
Namun sayangnya, dampak globalisasi kecil-kecilan ini juga telah berperan banyak dalam mengikis kekayaan budaya daerah.
Pengalaman saya tahun ini mengunjungi beberapa kota di Indonesia memperlihatkan bagaimana pemuda-pemuda lokal begitu menjunjung budaya Jakarta.
Ketika saya di Padang beberapa bulan yang lalu, misalnya, saya melihat bagaimana anak muda di kota tersebut begitu bangga memakai atribut anak Jakarta mulai dari gaya rambut, baju, celana hingga sepatu.
Mengikuti perkembangan mode jelas bukan satu hal yang salah, namun apabila hal tersebut tidak dibarengi dengan semangat kecintaan terhadap budaya lokal maka akibat yang ditimbulkan bisa memprihatinkan.
Ketika memperkenalkan diri sebagai anak Jakarta, sering kali saya mendengarkan kata-kata seperti “gue” dan “elo” diucapkan dengan aksen yang terdengar lucu dan terkesan dipaksakan.
Tampaknya, banyak pemuda di kota-kota lain yang ingin menjadi “keren” seperti anak Jakarta.
Padahal, tidak semua yang berbau Jakarta itu bagus. Terkadang, saya justru malu menjadi bagian dari kehidupan ibukota ini.
Jakarta, seperti yang sudah sering diperlihatkan di berbagai tayangan berita di TV, merupakan sumber dari berbagai kekacauan.
Selama bertahun-tahun lamanya, kota Jakarta tidak pernah lepas dari kata macet. Berpergian dari satu tempat ke tempat lainnya yang sebetulnya tidak begitu jauh bisa memakan waktu berjam-jam.
Dibangunnya sistem transportasi busway beberapa tahun yang lalu ternyata tidak banyak membantu mengatasi masalah ini.
Hujan masih saja menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian besar warga di Jakarta. Satu jam saja hujan, kekacauan di jalan-jalan utama sudah pasti terjadi. Apabila hujan turun lebih dari dua jam, banjir sudah pasti tidak dapat dihindari.
Banyak pihak menyalahkan pemerintah daerah lambat dalam mengatasi masalah ini, tapi banyak yang lupa kalau banjir juga timbul karena lalainya masyarakat Jakarta dalam menghargai lingkungan. Lihat saja, tidak seperti kota-kota lain di mana sungai menjadi daya tarik wisata, sungai di Jakarta sudah beralih fungsi menjadi tempat sampah.
Entah mengapa, membuat kota Jakarta ini menjadi bersih adalah suatu hal yang sulitnya bukan main. Padahal, tong sampah sudah tersebar di mana-mana, terutama di fasilitas-fasilitas publik.
Coba tengok Monumen Nasional atau yang biasa disebut Monas. Sampah berserakan di setiap sudut, penjaja kaki lima seenaknya membuka lapak dagangan sementara para pengunjung sama sekali tidak mempedulikan kebersihan lingkungan.
Di Jakarta, menemukan orang yang ramah dan santun itu sulitnya bukan main, apalagi kalau di tengah-tengah keramaian. Yang ada justru wajah-wajah penuh curiga dan kewaspadaan.
Aksi main serobot sudah menjadi hal yang sangat biasa di kota ini, apalagi di antara para pengemudi kendaraan. Semua ingin mendapat giliran pertama tapi tidak mau antri.
Menurut saya, sudah saatnya masyarakat Jakarta untuk berhenti sombong dan menganggap bahwa ibukota memiliki peradapan maling maju di negeri ini. Karena kenyataannya, semakin hari Jakarta semakin menjadi kota yang tidak layak huni, terutama bagi generasi muda.
Masyarakat Jakarta terkadang terlalu sombong dengan menganggap bahwa Jakarta adalah Indonesia. Ketika mereka dipusingkan dengan kemacetan, mereka mengumpat, “Dasar Indonesia macetnya parah!”
Ketika mereka melihat kondisi Jakarta yang begitu tidak berbudaya, mereka serta-merta berkomentar, “Orang Indonesia memang tidak bisa diatur.”
Masyarakat Jakarta lupa bahwa meski Jakarta adalah ibukota negara ini, Jakarta tidak mewakili Indonesia secara keseluruhan.
Pada kunjungan saya ke Bali tahun lalu, setelah bertahun-tahun lamanya, saya dibuat terkagum-kagum melihat relatif bersihnya jalan-jalan di pulau Dewata.
Ketika saya mengungkapkan hal tersebut kepada seorang teman yang sudah hidup bertahun-tahun di Bali, ia tertawa sambil berkata, “Apanya yang bersih? Ini mah gak bersih.”
Saya kemudian tersadar kalau saking kotornya kota Jakarta, Bali yang oleh sebagian orang dianggap tidak terlalu bersih saja sudah saya anggap sangat bersih.
Soal perilaku berbudaya, ternyata masyarakat Solo dan Yogyakarta jauh lebih baik. Tegur sapa terlihat begitu nyata, bahkan di antara mereka yang saling tidak mengenal sekalipun. Sesuatu yang sudah menjadi barang langka di Jakarta.
Menghormati orang yang lebih tua tidak dianggap sebagai hal yang ketinggalan jaman, justru merupakan sebuah tradisi yang sangat dijunjung tinggi.
Masyarakat Jakarta sebaiknya mulai berhenti berpikir bahwa mereka adalah pusat segala-galanya. Mereka harus sadar diri bahwa mereka perlu menengok masyarakat di kota lain dan mempelajari nilai-nilai baik yang masih mereka pegang teguh.
Masyarakat Jakarta, khususnya pemerintah daerah, misalnya, dapat belajar bagaimana kota Solo bisa menertibkan ribuan pedagang kaki lima tanpa menggunakan kekerasan sedikit pun. Hasilnya, suasana kota menjadi lebih bersih sementara masyarakat menjadi lebih senang.
Di Jakarta, buruknya pengelolaan kaki lima telah membuatnya kota ini terlihat begitu jorok dan kumuh. Tidak pernah ada solusi yang kreatif untuk menyelesaikan masalah ini. Tiap kali satpol PP datang mengusir, setiap kali itu juga pedagang kaki lima datang kembali.
Orang Jakarta juga harus belajar bagaimana kota-kota lain mampu menyeimbangkan antara budaya modern dan budaya lokal, contohnya masyarakat Bali dan Solo.
Generasi muda yang hidup dan besar di kota-kota lain janganlah tertipu dengan gemerlapnya kota Jakarta yang ditonjolkan oleh TV dan media lainnya. Tidak semua produk dari ibukota itu bagus.
Kamu harus bangga dengan keaslian jati diri kamu. Kalau kamu orang Jawa, maka kamu tidak perlu malu dengan suara kamu yang “medok”, justru kamu harus bangga dengan kejawaan kamu tersebut karena banyak orang di Jakarta yang mengaku orang Jawa tapi tidak bisa bahasa Jawa.
Tasa Nugraza Barley adalah seorang jurnalis di koran berbahasa Inggris Jakarta Globe. Ia adalah pendiri Berburu Center, sebuah gerakan yang menyebarkan pentingnya nilai-nilai berbudaya bagi generasi muda Indonesia. Buka situsnya di www.berburu.org.