Oleh: Murti Sari Utami
Perempuan, tak ada habisnya jika membahas mengenai dia. Sosoknya yang indah membuat semua mata tertuju padanya . Perempuan kerap kali diidentik denganĀ maternity yang hanya berkutat dengan sex dan reproduksi. Tubuh mereka diekploitasi, dan diri mereka mejadi the other dalam tatanan sosial.
Banyak literature yang mencecar marginalisasi perempuan dalam tatanan sosial, namun banyak pula hasil karya anak bangsa yang mengeksploitasi perempuan untuk kepentingan uang semata. Ada yang berusaha membebaskan namun ada pula yang ingin mempertahankan perempuan dalam mangkuk kecilnya.
Seperti Romo Mangun, Y.B. Mangunwijaya yang mencoba menceritakan sejarah Gundik dalam novelnya Burung ā Burung Manyar. Dalam triloginya Roro Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri Romo Mangun mereinterprestasikan perempuan sebagai subjek (self), yang mampu mengenal dirinya, ikut menemukan dunia, dan menemukan dunia untuk menentukan dirinya sendiri dalam dunianya.
Dari Emansipasi menjadi Feminis
Ada yang bilang ājangan panggil kami wanita, panggil kami perempuanā. Bukankah artinya sama saja?, namun menurutnya itu berbeda. Jika wanita āwani di totoā artinya berani di tata, atau diatur dan perempuan lebih less meaningful. Hal tersebut sangat berpengaruh pada eksistensi perempuan yang terusik dengan kata-kata wanita. Hal kecil namun menjadi perhatian serius bagi mereka yang mengaku dirinya perempuan.
Yah, perempuan memang patut diberi perhatian. Ā Sejarah tetang perampasan hak-haknya begitu ketara dalam ingatan kita. Nasib perempuan selalu ditentukan oleh laki-laki, baik untuk dulu, sekarang dan mungkin besok. Perjuangan perempuan Indonesia dalam mendapatkan kesetaraan haknya sudah cukup panjang. Cara ataupun tokohnyapun beragam.
Di Indonesia sendiri tercatat beberapa periode dalam perjuangan hak-hak kaum hawa ini. Diawali oleh Kartini yang memperjuangkan hak perempuan untuk meraih pendidikan. Perempuan sekuler ini mencoba mendobrak kekolotan budaya masa itu yang hanya memperbolehkan anak laki-laki yang bersekolah. Hasilnya dapat kita nikamati sekarang ini. Perempuan sesudah era Kartini mulai mengisi bangku sekolah.
Akhir periode sekitar abad 19 hingga 20an tokoh perempuan-perempuan Muslim muncul pada masa itu. Rohana Kuddus, Rahmah el-Yunusiyah, dan yang lainnya mendirikan pesantren khusus putri yang mengajarkan baca-tulis untuk mereka. Kesadaran akan pendidikan dan kebutuhan baca-tulis tak hanya untuk mereka yang laki-laki telah ada pada masa itu.Ā Tak hanya mengenai baca-tulis, mereka juga mencoba memperjuangkan hak-hak perempuan lainnya. Pernikahan dini, perceraian yang sewenang-wenang dan praktek poligami menjadi perjuangan meraka. Gerakan yang baru merupakan rintisan itu seperti cacing yang menggeliat dalam luasnya ladang budaya patriarki.
Tahun 1920 hingga 1950an tumbuh pesat organisasi-organisasi perempuan misalnya Aisyiāah Muhammadiyah, dan Muslimat NU. Penolakan poligami santer terdengar. Tidak ketinggalan kesetaraan dalam berbagai aspek dan pendidikan menjadi peruangannya.
Aisyiāah Muhammadiyah gencar menyuarakan pentingnya perempuan dalam ruang publik, dan Muslimat NU dengan gencar mendesak agar perempuan diperbolehkan mengikuti dan menjadi anggota dalam lembaga politik. Alhasil UU pertama tentang keluarga lahir : UU No. 22 tahun 1946. Dan salah satu pasalnya menyebut bahwa perkawinan, perceraian, dan rujuk harus dicatatkan. Penubuhan gagasan ke dalam sebuah undang-undang, sungguh terobosan baru.
Emansipasi perempuan mulai gencar diperjuangkan pasa masa Orde Baru kala itu. Dengan adanya fasilitas pendidikan yang telah dinikmati oleh perempuan, maka makin banyak pula perempuan yang ikut ambil bagian dalam proses politik. Mereka yang hadir dalam jajaran kabinet pun menunjukkan eksistensinya sebagai perempuan.
Kartini yang menjadi pintu gerbang perempuan Indonesia untuk mendapatkan haknya dalam hal pendidikan. Dimulai dari dirinya, maka muncul Kartini ā Kartini lain yang mencoba mendobrak kekolotan budaya kita. Budaya yang mengekang perempuan dan membatasi ruang geraknya.
Sebenarnya hanya ada sedikit perbedaan gerakan perempuan di Indonesia dan di Barat. Mereka sama-sama mencoba mendapatkan haknya. Seperti yang diungkapkan Goofe , gerakan perempuan (baca: feminism) merupakan gerakan yang fokus pada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam politik, ekonomi, sosial dan organisasi lain yang memperjuangkan hak perempuan. (Goofe in Sugihastuti and Suharto, 2005:18). Seperti itu pula yang diperjuangkan oleh perempuan-perempuan di belahan bumi manapun.
Yang membedakan adalah konteksnya. Di Indonesia, kukungan budaya yang alot, religiusitas tradisional, dan kondisi ekonomi yang tak semaju negara barat menjadi pembedanya. Ketika budaya, dan situasi ekonomi dan politik yang berbeda maka hasil dalam perjuangan tentu juga akan berbeda. Sekarang perempuan Indonesia telah bisa menikamati perjuangan yang telah membuahkan hasil. Kesetaraan dan kebebasan telah didapatkan oleh perempuan. Namun tak boleh terlena karena masih ada perjuangan lain telah menunggu perempuan-perempuan penerus pergerakan.
Perempuan dalam Pasar Global
Tong dalam pemikirannya bahwa āFeminists do not fight against men but against social structure and law that consider women as the subordinate group to the other group ā(Tong in Fakih, 2004:78). Dan setelah perempuan mulai mendapat pengakuan dalam status sosial mereka dituntut untuk bisa menyesuaikan diri dengan keterbatasan lahiriah yang mereka punya. Yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Yah, inilah perjuangan baru perempuan setelah memperjuangkan kesetaraan dan kebebasan yang juga belum final.
Sekarang ini, sejak terjadi Boom ekonomi global yang dimulai tahun 1990an menyebabkan berbagai perubahan. Yang paling nyata adalah terjadi perubahan masyarakatnya. Yakni dari masyarakat industri manjadi masyarakat informasi. Kemajuan teknologi memasksa perempuan untuk mengikuti arusnya. Perempuan pun tak punya pilihan. Mereka dipaksa untuk harus bisa menyesuaikan dirinya.
Dulu tugas perempuan dalam perekonomian adalah memenuhi kebutuhan pokok dalam keluarga. Namun konstruksi sosial bias gender telah meminggirkan posisi perempuan. Bahwa laki-laki mewakili kebudayaan objektif dan perempuan mewakili kebudayaan subjektif. Sehingga perempuan dikenalkan terus menerus dan harus bisa menjadi kebudayaan objektif dengan ukuran pasar.
Mau tidak mau, perempuan harus masuk dalam stuktur pasar, baik pasar tradisonal maupun pasar modal. Menurut Adam Smith, pasar dikendalikan oleh tangan-tangan tak kelihatan (Invisible hand). Dan guna pertumbuhan ekonomi perlu adanya pembagian tugas atau pembagian peran. Maka terciptalah masyarakat yang konsumtif yang menjadikan perempuan mendapat tugas memelihara kehidupan oleh tradisi matriarkhi dan budaya sehingga perempuanlah yang menjadi sasaran produk ini.
Perempuan sudah dikonstruksi menjadi manusia āyang harusā teliti. Namun karena fungsi biologis perempuan (hamil-red) maka masyarakat menilai bahwa perempuan hanya pekerja kelas dua. Sehingga selayaknya mereka mendapat upah murah.Ā Ideologi gender yang dominan mengakibatkan relasi antara laki-laki dan perempuan masih sulit dipisahkan dan keluar dari stigma masyarakat. Banyak stereotipe yang terlihat kukuh di masyarakat. Konstruksi sosial telah mencampuradukkan mana yang nature dan yang nurture dalam sebuah mitos, aturan, ideologi yang dibuat hanya untuk kepentingan semata. Dan lagi, korban dari semua itu adalah perempuan.
Dalam pasar, dengan alasan untuk mendapatkan keuntungan, Mitos kecantikan dikonstruksi dan dijadikan sebagai alat mencari keuntungan semata. Industri kosmetik mendapat keuntungan luar biasa karena mitos ini. Yah, perempuan pada dasarnya memang konsumtif. Dengan sifat konsumtif perempuan inilah, pasar memanfaatkannya menjadi sebuah keuntungan. Perempuan tidak lagi menjadi pelaku pasar namun menjadi sasaran pasar itu sendiri.
Di tengah pasar global perempuan berusaha mempertegas keberadaannya. Ia menyesuaikan diri dengan segala perubahan. Anak-anak perempuan yang sudah dikalahkan oleh budaya dalam hal pendidikan mendapat tuntutan untuk bisa sama dengan saudara laki-lakinya. Akhirnya, karena tuntutan tersebut mereka mencari pekerjaan yang dirasa mudah namun memberikan hasil yang lebih. Banyak diantara perempuan itu memilih menjual diri mereka.
Hukum pasar yang tak bisa ditawarĀ adalah ada penjual maka ada pembeli. Begitulah pasar bekerja. Jika dahulu, perempuan-perempuan memperjuangkan hak untuk sebuah eksistensi, namun karena terhimpit oleh perekonomian dan konstruksi sosial yang telah berubah maka kini perempuan manjadi korban ketidakberdayaannya.
Yah, pembahasan mengenai kelamin memang tak pernah ada habisnya, namun tetap menarik bukan.