Dunia perfilman Indonesia masih mencari jatidirinya. Film di negeri ini masih saja terjebak pada pada permainan pasar. Keuntungan besar menjadi ukuran keberhasilannya. Kerapkali film yang hadir di tengah-tengah masyarakat ini hanya bernuasa seks dan kekerasan.
Lihat saja, baliho film yang ada dibioskop kesayangan, film-film syur dengan judul yang menggoda terus mendominasi. Tidak ada bedanya film-film abal-abal (sebutan untuk film yang dibuat seenaknya) di era 1970 yang terkenal dengan bintang panasnya.
Di Indonesia film panas itu sudah berkembang lama, tiap zaman mempunyai bintangnya sendiri. Beberapa yang film yang popular pada masa itu, bernafas dalam lumpur yang dimainkan oleh Turino Junaedi dan Zuzana. Keduanya beradegan ranjang. Tahun 1989 dunia perfilman digemparkan dengan peran Yurike Prastika dalam film Pembalasan Ratu Laut pantai Selatan yang ditarik peredarannya bersama film Ketika Musim Semi Tiba yang dibintangi mariam Beliana.
Perempuan didalam film pun masih dianggap sebagai the object of spectacle memang jadi dialektika yang tidak kunjung selesai. Perempuan dianggap sebagai objek untuk memuaskan hasyat seks. Tubuhnya menjadi sorotan utama yang terus-terusan dieksploitasi. Tidak hanya tubuh perempuan yang ditampilkan seronok, film Indonesia juga masih dibumbui dengan adegan syur yang menggoda iman penontonnya. Pakaian minim yang memperlihatkan lekuk tubuh kaum hawa ini menjadi daya tawar kebanyakan film yang menghiasi layar kaca.
Pembunuhan Karakter
Disisi lain film yang tidak mengeksploitasi tubuh menghadapi persoalan pembunuhan karakter. Film yang menampilkan sisi lemah wanita dengan segala keterbatasannya dan hanya mampu untuk menerima nasibnya saja.
Parahnya lagi beberapa filmpun menampilkan sosok perempuan yang culas. Seperti yang terekam dalam salah satu film drama komedi Suami-suami takut istri yang menceritakan kehidupan rumah tangga di salah satu stasion televisi Indonesia. Dimana dalam film itu diceritakan beberapa perempuan yang memperlakukan suaminya dengan seenaknya. Sinema elektronik (sinetron) pun belum bisa menampilkan film-film yang dapat membangun masyarakat khususnya perempuan. Padahal jelas saat ini penikmat film ini didominasi oleh kaum hawa.
Siapa yang kemudian mau disalahkan? Film yang seharusnya menjadi cerminan zaman bangsa. Teori film yang banyak dipelajari menyebutkan bahwa film adalah arsip sosial yang menangkap jiwa zaman (zietgeist) masyarakat saat itu. Gambar yang tertangkap kamera itulah yang akan menjadi catatan sejarah pada masa ini. Perempuan yang dieksploitasi tubuhnya pun akan menjadi catatan hitam bagi sejarah bangsa Indonesia.
Apa yang terjadi dalam dunia perfilman Indonesia? Kenapa justru film yang tidak menampakkan jatidiri bangsa dan cenderung mengeksploitasi perempuan ini trus berkembang dengan pesatnya bak jamur dimusim hujan.
Padahal jelas, berdasarkan mukadimah anggaran dasar karyawan film sejatinya film mempunyai fungsi yang mulia. “Film dan televisi bukan semata-mata barang dagangan, tetapi merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya pengaruh yang amat besar di masyarakat, sebagai alat revolusi untuk menyumbang dharma baktinya dalam menggalang persatuan dan kesatuan nasional, membina nation dan character building mencapai masyarakat sosialis Indonesia yang berdasarkan pancasila.”
Dari pernyataan tersebut seharusnya film sendiri sudah mampu menemukan karakter yang diinginkan masyarakat dan bangsa ini. bukan hanya sekedar untuk menghibur masyarakatnya dengan mimpi-mimpi yang tidak menggunakan logika berfikir. Apalagi untuk masalah perempuan, film nasional belum begitu memperhatikan etika yang seharusnya digunakan. Salah satunya poinnya adalah dalam pembangunan karakter. Karena bagaimanapun juga dari karakter yang ditampilkan akan memberikan kesan positif untuk membangun motivasi perempuan untuk kehidupan yang lebih baik.
Semua orang yang bersentuhan dengan film tidak boleh hanya berdalih bahwa film panas seperti itulah yang diinginkan masyarakat. Belum tentu masyarakat menginginkan film yang berbau seks dan aksi pornografi pemainnya. Orang-orang yang menggerakkan dunia perfilman kita, siapapun dia pemilik modal besar, pembuat film kere, kritikus, distributor dan semua yang berhubungan dengan film dituntun untuk mengikuti etika dan estetika dalam pembuatan film.
Dibutuhkan kesadaran tingkat tinggi untuk memahami film yang mempunyai pesan-pesan moral yang disampaikan ke penonton. Dimana film itu bisa mengubah karakter manusia secara drastis dengan media audio visual yang mudah diterima masyarakat.
Sebut saja film Perempuan berkalung sorban yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo yang menampilkan keberanian sosok perempuan yang masih dikekang oleh aturan. Apalagi untuk sekedar memperbolehkan haknya. Bahwa perempuan tidak hanya menjadi konco wingking (teman di belakang, red) yang mengurusi dapur dan kasur.
Terlepas dari kontroversial film yang dianggap sesat ole sebagian ulama Islam. Annisa (Revalina S Temat), puteri kyai kondang yang terus-terusan dibatasi segala aktivitasnya. Tak tahan dengan perlakuan yang tidak adil dari sang ayah, Aisyah secara diam-diam tetap melakukan berbagai aktivitas yang dilakukan laki-laki. Misalnya naik kuda. Aisyah percaya bahwa perempuan juga berhak bermain permainan yang dilakukan laki-laki. Pendidikan yang layak dan segal fasilitas lainnya.
Dari film ini, perempuan berjuang untuk memperoleh hak-haknya. Film dengan karakter yang khas dari bangsa Indonesia. Orisinalitas film dengan ide yang segar untuk membangun semangat masyarakat untuk terus berkembang. Bukan film yang hanya menonjolkan bentuk tubuh ataupun pembunuhan karakter yang menyulitkan posisi perempuan untuk berkarya.
Alternatif Lain
Sesuai perkembangannya film yang mengangkat perempuanpun masih bisa dihitung dengan jari. Film buatan Lola Amaria ikut meramaikan jagat perfilman Indonesia. Dengan filmnya yang berjudul Minggu Pagi di Victoria Park. Lola yang juga seorang dokter ini berusaha menampilkan perjuangan bagaimana kehiupan Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Indonesia. Cerita ini diawali dengan kisah Mayang (Lola Amaria) yang berangkat ke Hongkong sebagai TKW yang mencari adiknya Sekar (Titi Sjuman) yang tidak pulang membawa kabar. Sekar yang awalnya dapat mengikrim uang yang banyak ke rumah ternyata terjerat dengan hutang dengan bunga yang tinggi. Hal itu memaksannya kerja serabutan. Difilm ini digambarkan rangkaian filmnya yang menampakkan kehidupan perempuan penyumbang devisa tersebut.
Sama seperti Lola Amalia, perempuan berperawakan mungil yang akrab dipanggil Pita ini mendedikasikan sebagian karyanya dengan mengangkat tema perempuan. Sejak terjun didunia film pada tahun 1998, perempuan dengan nama lengkap Pita Amurwa Bumi tengah asik melakoni kegemarannya dalam membuat berbagai film. Bosan dengan film-film nasional yang masih menomor duakan perempuan membuatnya makin tergerak untuk membuat film sendiri. Pita trauma untuk sekedar menonton film-film yang hanya menyajikan goyangan erotis bomsek, sebutan untuk bintang film yang bermain adegan intim dengan lawan mainnya. “Tahu film goyang karawang?” tanyanya pada Saya. Salah satu film itulah yang diakuinya membuatnya trauma. Entah sampai kapan traumanya itu akan sembuh, yang jelas trauma itulah yang juga dialami oleh kebanyakan perempuan Indonesia.
Pita pun membuat film dengan tema ecofeminism yang mengkonsentrasikan ide liarnya tentang kegigihan perempuan untuk mendapatkan setetes air. Hampir sebagian waktunya dihabiskan untuk mengambil air. Film dokumenter dengan judul Sweaty Back On A Cracking Land ini sengaja tidak menggunakan efek macam-macam. Kesan natural dari perempuan juwangi, jawa tengah yang merasakan dampak kerusakan lingkungannya sehingga hari-harinya hanya dihabiskan untuk mengambil air. Penonton pun diajaknya menafsirkan film ini sesuai dengan apa yang ditanggapnya. Pita tidak ingin filmnya ditonton dengan rasa kasihan.
Sekarangpun Pita masih aktif mengambil tema-tema perempuan dalam karya yang dia hasilkan. ”Aku berusaha menikmati dan menerima dan memperjuangkan tubuh prempuanku,” tuturnya. Dari film-film sederhana ini Pita sebagai salah satu sineas muda mencoba menuangkan ide-ide kreatifnya. Apalagi dengan semakin terbukanya era digital seharusnya ini menjadi kabar baik bagi sineas muda. Pertanda bahwa demokratisasi film sudah masuk didunia film. Jadi film sudah tidak lagi menjadi barang yang mahal. Itu artinya masalah pemilik moal sudah tidak lagi dominan berkuasa. Giliran kekuatan orang-orang pinggiran untuk bercerita tentang kisahnya masing-masing.
Tinggal bagaimana kesadaran masyarakat itu dapat timbul. “Menanamkan kesadaran bahwa film itu sebuah realita kenyataan ,” tutur Pita. Kesadaran itu bisa kita bangkitin dari dalam dari diri kita sendiri tambahnya. Tentu saja, pekerjaan sulit untuk menciptakan kesadaran tersebut. Tidak serta merta menerima film itu mentah-mentah. Bahwa film itu bisa disusun ulang tiap kepingnya. Tidak memandang perempuan dari satu sisi saja.
Alternatif lain
Keprihatinan terhadap perkembangan film di Indonesia juga yang mengispirasi Joko dan kawan-kawan untuk memberikan ruang apresiasi lebih pada sineas muda. Ditempat yang bernama Gedung Kesenian Solo (GKS) yang terletak di jantung kota Solo film-film pendek dan dokumenter mempunyai ruang. “Film pendek dan dokumemter menjadi salah satu alternative film-film yang dapat dinikmati pecintannya,” ungkap Joko, programmer GKS.
Disinilah banyak bermunculan film yang mendekati realita, Bukan hanya berorientassi bisnis. Tak terkecuali film yang mengangkat tema-tema perempuanpun banyak diputar disini. Diskusi dan kritik film akan diberikan setelah film selesai ditonton. Dari tempat seperti inilah orang-orang hebat lahir.
Joko berpendapat bahwa film inspiratif masih sangat kurang, padahal itulah yang dibutuhkan masyarakat. Unsur-unsur pendidikan belum terlalu banyak disentuh. “Di Gedung Kesenian Solo ini sineas muda diberikan akses lebih untuk membuat film yang mendekati realita,” Jelasnya.
Untuk kesekian kalinya Joko berharap terus ada karya yang menampilkan perempuan sebagai objek yang tidak berlebih-lebihan. Sebagai salah seorang penggemar pada sosok perempuan ini, Joko pernah menggarap film pendek berjudul Selendang Pasar Legi menampilkan perempuan perkasa Solo yang bekerja sebagai buruh gendong.
Keperkasaan, ketangguhan, keramahan dan perjuangan perempuan belum berakhir. Kelebihan perempuan sebagai pasangan laki-laki bukan lagi dianggap sebelah mata. Perempuan bukan sekedar menjadi objek dalam film. (Siti Sholekah Sariningsih)