Reporter : Chalara Yuanita
Pabelan-online, UMS–Audiensi lanjutan Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang digelar di ruang sidang dekanat FKIP, Senin lalu (23/7). Audiensi ini membahas tiga hal yang menjadi tuntutan mahasiswa.
Tiga hal yang menjadi tuntutan mahasiswa yaitu :
- Pungutan liar kenang kenangan oleh sekolah tempat lahan praktik mahasiswa PPL
- Kuota mahasiswa FKIP yang overload
- Pembayaran uang praktik PPL
Audiensi ini dihadiri sekitar belasan mahasiswa dan beberapa dosen tersebut melanjutkan apa yang menjadi agenda audiensi sebelumnya.
Pungutan Liar Praktik Mahasiswa PPL
Pada pembahasan pertama mengenai pungutan liar kenang kenangan sekolah tempat lahan praktik mahasiswa PPL. Hal tersebut tidak menjadi isu belaka namun merupakan suatu kenyataan yang memang terjadi dan menimpa mahasiswa.
Hal tersebut diungkapkan oleh salah satu mahasiswa FKIP semester atas yang merupakan salah satu korban pungutan liar, Iklas. Ia mengatakan bahwa di salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri tempatnya PPL terdapat hal hal yang ganjil seperti pemaksaan uang kenang-kenangan PPL, diskriminasi perlakuan terhadap mahasiswa UMS dengan mahasiswa Universitas lain. “Dan diskriminasi jam mengajar dan piket,” katanya, Senin (23/7).
Dalam audiensi tersebut, Iklas menawarkan usulan bahwa jangan hanya pemutusan hubungan kerja sama, namun juga disomasi KPK secara perlembagaan karena hal diatas termasuk korupsi gratifikasi. Selain itu, tambahnya, walau sekolah terkait sudah dimaafkan namun adanya sosialisasi kedepannya mengenai hal ini kepada mahasiswa yang akan PPL agar tidak terulang lagi.
Menanggapi hal tersebut, Hanif selaku Dekan FKIP mengatakan bahwa ruh FKIP terdapat pada PPL dan microteaching, karena sekolah sebagai mitra lahan praktik. Namun jika memang ada saksi yang dizalimi terkait pungutan liar kenang-kenangan, maka pihak universitas akan membuat kebijakan dengan memutuskan permitraan dengan sekolah tersebut. “Selain itu juga ada pembinaan kepala sekolah,” ungkap Hanif, Senin (23/7).
Menambahi hal tersebut, Anam salah satu Dosen FKIP menyatakan bahwa solusi cepat yang diterapakan adalah tidak menggunakan sekolah yang terbukti melakukan pemaksaan untuk PPL tahun depan.
Anam mangakui bahwa memang belum melibatkan mahasiswa dalam proses evaluasi PPL. Namun kedepannya akan diadakan angket, perbaikan program dan mutu mahasiswa. Sedangkan untuk diskriminasi, akan mengambil tindakan dengan sosialisasi kepada kepala sekolah. “Juga perbaikan komunikasi yang baik antara dosen dan mahasiswa,” jelasnya dalam audiensi, Senin (23/7).
Kuota Mahasiswa FKIP yang Overload
Pada permasalahan kedua mahasiswa menuntut agar kuota dikurangi karena overload. Selain itu terjadi ketimpangan jumlah mahasiswa pada jurusan satu dengan jurusan lain (misalnya Matematika dengan Geografi)
Menanggapi hal ini pihak dekanat telah menyanggupi untuk mengurangi 10 persen dari tahun lalu yang sebesar 1740 mahasiswa menjadi 1566 mahasiswa untuk tahun ini.
Pembayaran uang praktik PPL
Situasi audiensipun mulai memanas ketika membahas permasalahan yang ketiga, dimana mahasiswa menginginkan kejelasan dan transparansi biaya praktek PPL sebesar empat ratus ribu rupiah.
Menanggapi hal tersebut, Anam salah satu Dosen FKIP mengatakan bahwa uang praktek PPL dimana semua uang PPL mahasiswa masuk pada kas rektorat, bukan kefakultas. Untuk mencairkan dana tersebut pihak fakultas harus membuat proposal RAB yang harus disetujui pihak rektorat. “Hasil pembayaran 400 ribu itu akan mendapat batik dan bisa langsung diambil sesuai jadwal prodi masing masing,” jelasnya, Senin (23/7).
Ia menambahkan, bahwa rinciannya tidak bisa dijelaskan satu persatu, karena alokasi dana setiap sekolah berbeda-beda. Karakteristik sekolah lahan praktek mahasiswa sebanyak 89 sekolah memang berbeda-beda namun pos alokasi dana PPL secara keseluruhan meliputi alur pendanaan pra PPL.
Lain pihak, Yakub Nasuha selaku kepala prodi PBSID mengakui untuk prodi PBSID uang praktek memang masuk kerekening atas nama Yaqub Nasuha. Ia menerangkan bahwa rekening tersebut dibuka pada tahun 2003 atas perintah rektorat dan fakultas dimana untuk biaya tambahan praktisi.
Wahyudi, salah satu mahasiswa FKIP dan aktivis mahasiswa menanggapi bahwa dalam hal ini haruslah terdapat auditing dana. Tidak hanya oleh universitas namun juga oleh mahasiswa. “Karena proses tersebut merupakan hak siapa saja,” ujarnya saat audiensi, Senin lalu (23/7).
Wahyudi menambahkan, perlunya auditing yang merupakan hak siapa saja, berupa auditing internal dan eksternal yang harus jelas.
Kurang setuju dengan Wahyudi, Hanif mengatakan bahwa proses auditing tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Jika seseorang tersebut ingin melakukan auditing maka ia harus seseorang yang professional dan paham tentang rule auditing pendanaan jelasnya. “Untuk auditing harus minta ijin rektorat,” katanya, Senin (23/7).
Dekan Pergi Sebelum Audiensi Selesai
Dekan meninggalkan ruangan karena dirasa pembahasan telah menyimpang menyimpang dari seharusnya.
Menanggapi audiensi itu, salah seorang peserta audiensi, Talita yang juga mahasiswa FKIP mengatakan bahwa wahyudi memang sedikit menyimpang, harusnya diselesaikan semua masalah dulu satu-satu sampai selesai. Ia berharap ada audiensi susulan untuk memberikan hasil konkrit pada mahasiswa berupa kontrak politik. “Agar tidak misunderstanding pendapat dan persepsi,” ungkapnya, Senin (23/7).