Yulisna Mutia Sari atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbak Nana, begitulah ia lebih sering dipanggil oleh mahasiswanya. Dosen muda nan cantik itu adalah dosen Fisioterapi UMS. Perempuan kelahiran Pontianak ini telah berhasil menyelesaikan studi S2 di University of Wolonggong, South Wales, Australia dalam kurun waktu satu tahun. Ia merupakan Fisioterapis Geriatri pertama dan satu-satunya di Indonesia. Fisioterapis Geriatri merupakan fisioterapis spesialis untuk menangani penyakit-penyakit lanjut usia (lansia), yang memang jarang ditemukan di Indonesia.
Saat ditemui di ruang kerjanya, senyuman hangatnya menyambut kedatangan reporter Pabelan Pos. Pakaian warna merah yang dikenakannya serasi dengan semangat yang ia miliki untuk meraih cita-cita setinggi-tingginya. Dosen muda yang suka jalan-jalan, membaca dan kuliner ini memang punya motivasi yang berlebih dalam meraih gelar pendidikannya.
Ia punya pandangan untuk menjadi master Fisioterapi semenjak kuliah, dikarenakan peluang fisioterapi di Indonesia masih sangat besar. “Kalau kita lihat fisioterapi di negara-negara maju dan berkembang sudah sangat maju sedangkan di indonesia masih banyak yang belum paham mengenai fisioterapi, Kemudian kebijakan-kebijakan di Indonesia tidak terlalu mendukung fisioterapi” katanya.
Saat menjadi dosen ternyata ada peluang untuk memndapatkan beasiswa dari DIKTI. Nama porgramnya BLN DIKTI atau Beasiswa Luar Negeri dari DIKTI. Dimana itu diperuntukkan untuk dosen Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta di Indonesia. Sehingga dananya dari APBN Kementrian Pendidikan Nasional. “Saya Alumni UMS, saya lulus tahun 2009 D IV Fisioterapi, lalu saya menjadi dosen di UMS tahun 2010,” ungkapnya.
Keinginannya ke luar negeri memang sejak kuliah, sehingga sejak kuliah ia sudah mencari beasiswa ke luar negeri, baik itu beasiswa tunggal maupun dari pemerintah Indonesia. “ Memang sudah rezekinya, saya mendapatkan beasiswa melalui menjadi dosen terdahulu,” tuturnya.
Untuk mendapatkan beasiswa dari luar negeri, pertama yang paling penting dan tidak bisa instan adalah Indeks Prestasi Komulatif (IPK). IPK memang dari awal harus bagus, sehingga dari awal semester hingga akhir semester harus punya IPS yang stabil agar nantinya IPK tidak anjlok. Selain IPK, hal yang harus diperhatikan adalah skill bahasa inggris.
Yulisna menyelesaikan Kuliah S2 di University of Wollonggong, Faculty of Health, Gerontology and Rehabilitation, South Wales Australia. Ia tidak murni mengambil fisioterapi namun mengambil master of sains, jadi di fakultas itu gabungan dari fisioterapi, dokter, perawat sehingga bisa disebut multidisipliner ilmu.
Di luar negeri ada pilihan untuk kuliah part time atau full time. Ia mengambil kuliah full time sehingga bisa ditempuh dalam waktu satu tahun dengan catatan nilai yang diraih baik. “Rata-rata untuk menyelesaikan kuliahnya satu setengah tahun, tetapi alhamdulillah saya dapat menyelesaikannya dalam satu tahun,” ungkapnya.
Untuk menyelesaiakan pendidikan magisternya selama satu tahun di Australia, ia rajin belajar dan membaca. “kita juga harus mau menerima masukan, karena ketika kuliah di luar negeri berhubungan dengan orang-orang yang berbeda dalam pemikiran, budaya, dan watak,” tuturnya.
Kebetulan kemarin ketika mengambil gelar Magister di Australia tidak sambil bekerja. Hampir mahasiswa Indonesia disana belajar sambil bekerja paruh waktu untuk menambah uang jajan. Tapi, karena padatnya jadwal kampus dan sudah bertekad untuk menyelesaikan pendidikan dalam kurun waktu satu tahun, jadi ia tidak bekerja.
Ia mengaku ketika kuliah di Australia, tidak sehat dalam memanagement waktunya. Ia bisa menghabiskan waktunya sepanjang hari dari jam 08.00 WIB hingga jam 20.00 WIB di perpustakaan, sehingga mengganggu jam makan. Karena ada peraturan disana untuk tidak membawa makanan. “Sehingga saya istirahatnya hanya untuk makan dan sholat, saya nggak mandi,” tuturnya sambil tertawa.
Ia bisa berlama-lama di perpustakaan karena disana ramai sehingga banyak teman. Selain itu fasilitasnya juga memadai, jadi apabila letih ia bisa tiduran di sofa. “ Saya tidak belajar terus, terkadang saya juga main internet dan membaca buku untuk menghilangkan kejenuhan,” ungkapnya.
Ketika ditanyakan keinginannya untuk melanjutkan S3, ia mengaku sangat ingin namun perlu menimba ilmu lagi dengan banyak melakukan penelitian terlebih dahulu. “Insya Allah, saya akan melanjutkan ke S3, namun untuk saat ini saya mengabdi ke UMS terlebih dahulu,” katanya.
Satu-satunya Fisioterapis ahli Geriatri di Indonesia ini, bercita-cita untuk menjadi dosen. Karena pekerjaan tersebut selain bisa menuntut ilmu juga bisa bermanfaat untuk orang banyak. Selain itu, ilmu yang dibagikan ke orang lain adalah suatu hal yang mulia. “Saya ingin membangun Geriatric Rehabilitation Centre, jadi dimana disitu bisa menjadi pusat untuk membantu meningkatkan kesehatan orang tua di Indonesia,” Harapnya.
Kehidupan di Australia cukup mahal, harga makanan sangat berbeda bila dibandingkan di Indonesia. Ketika di Solo ia sering membeli makanan diluar karena harga makanannya terjangkau, berbeda ketika di Australia harga makanannya sangat mahal seingga harus masak sendiri untuk menghemat uang saku. “Di Australia saya memang harus dituntut masak, belanja dan segala macam lah,” ungkapnya.
Ia mengaku pernah ingin sekali makan bakso ketika di Australia, dan harus naik kereta ke Sydney dari South Wales sekitar satu jam tiga puluh menit. “Nah itu, saya bisa menghabiskan biaya bolak balik sebesar Rp 600.000,00 hanya untuk makan bakso dan minum,” ungkapnya.
Pengeluaran paling besar di Australia adalah penyewaan rumah. Ongkos sewa rumah atau apartemen harganya sangat mahal, harganya bisa berkali-berkali lipat dibandingkan di Indonesia. Sehingga harus bisa menghemat pengeluaran dalam hal makanan. Terutama dengan masak, jadi bedanya kalau masak dengan beli makanan itu perbedaan uang yang dikeluarkan sangat jauh. Hal ini dikarenakan upah untuk pekerja di sana sangat tinggi. Sehingga, apabila bisa berhemat dalam hal makanan dengan memasak masakan sendiri bisa menekan angka pengeluaran.
Ketika Puasa saat itu di Australia musim dingin, sehingga harus berusaha keras untuk menahan lapar. Ketika lebaran, ia harus tetap kuliah karena disana memang tidak ada hari libur. “Di suatu sisi kita harus bisa menahan diri untuk belanja, namun di suatu sisi bisa mensyukuri nikmat bahwa Indonesia tidak ada duanya,” katanya.
Ia mengaku bisa meraih prestasi seperti sekarang ini berkat orang-orang sekitarnya seperti keluarga khususnya kedua orang tuanya. Selain itu, UMS yang memberikan saya ilmu untuk bisa kuliah di luar negeri. Dosen-dosen fisioterapis juga yang selalu memberikan motivasi dan semangat. Seperti Pak Agus, Bu Sella, Bu Umi yang selalu men-supportnya. “Ayo dek kamu bisa, seperti itu,” tutupnya.