Bulan bersinar terang pada awal Januari. Awan mendung yang sempat menghantui sore tadi, tiba-tiba lenyap ditelan malam. Seolah mengetahui akan terjadi suatu peristiwa yang teramat penting. Cahaya bulan yang terang, memaksa masuk ke celah-celah atap rumah itu. Rumah yang hanya berukuran 2 kali WC umum. Atau mungkin lebih mirip dengan gudang. Bahkan dari luar terkesan seperti bangunan kuno yang entah dari alam mana bisa terdampar di dunia ini.
Bukan makhluk halus atau semacam jin yang menghuninya. melainkan laki-laki paruh baya yang tengah merebahkan tubuhnya diatas dipan. Tubuh yang kurus, nampak seperti dahan ranting yang patah kala musim semi. Pernahkah kau lihat tangannya? Tangan yang berisi urat-urat, seakan memaksa keluar dari balik kulit arinya yang tipis. Bahkan lebih tipis dari dipan tempat ia bersandar.
“Jawabanku tetap tidak! Sama seperti minggu kemarian, juga untuk besok, minggu depan, dan untuk selamanya!” suaranya lirih, bahkan terlalu lirih hingga laki-laki berbaju hitam lengkap dengan dasi hitamnya itu menengadahkan telinganya. Laki-laki itu tak puas, mendesah, seolah menahan gumpalan daging beku di dalam kerongkongannya.
Sorot matanya yang tajam, lurus, terarah hanya pada satu tujuan. Nampak seperti tokoh antagonis dalam film telenovela sedang menyusun siasat keji. Mengkristal, berkumpul, bersatu padu didalam kepalanya yang plontos seperti buah kelapa ketika terkupas habis. “kau akan menyesalinya! Ancamnya pada lelaki tua itu sembari berjalan gontai keluar rumah. Mirip wajah Hitler saat kalah perang dunia ke-dua.
***
Musim hujan di kota Solo sangatlah unik, tidak seperti kebanyakan kota-kota besar lainnya. Hujan hanya terjadi antara sore sampai menjelang fajar. Menjadi hukum mutlak bagi para mahasiswa yang tinggal di asrama, untuk bergegas mengambil pakaian yang terkatung-katung, terombang-ambing tertepa angin kala matahari mulai mengatup.
Dan benar, sore itu deburan air hujan mulai menggila, beriringan dengan udara dingin malam yang perlahan mulai merangkak naik. Gerombolan manusia nampak bertebaran kearah jemuran, bahu-membahu memindahkan tumpukan kain yang sedari tadi terkatung-katung menunggu majikannya menjemput. Tapi tunggu dulu, ada yang aneh, ada sesuatu yang tak biasa, bergerak-gerak di got tempat saluran air.
Bukan tikus got raksasa, bukan juga tumpukan plastik yang berhamburan, melayang tertiup angin. melainkan sesosok laki-laki paruh baya sedang membersihkan tumpukan sampah di lorong-lorong got, sebelah utara asrama. Tak salah lagi, dialah Mbah Popo-begitu mereka memanggilnya. Petugas kebersihan yang telah mencurahkan hampir dua pertiga umurnya di Asrama ini.
Melekat di matanya sebuah alat. Ya, tepatnya adalah alat bantu baca. Kaca mata. Kaca mata merek swiss yang selalu ia kenakan. Lambang kebesarannya. Tak pernah sekalipun ia melepasnya, konon itu adalah pemberian Amin Rais ketika sedang berkunjung ke asrama tersebut. Tapi ada apa dengan mata itu? Mata kuning kelabu itu kian hari kian keruh. Seperti kayu tua yang telah lapuk. Garis kantong matanya kian menebal, terbalut dengan kulit ari yang kian menipis.
Kenapa dirimu? Apa yang terjadi? Sesuatu nampaknya menimpa pria tua itu. Sesuatu yang tersembunyi dibalik tulang-tulangnya yang rapuh. “Tiit,,!” suara klakson sebuah mobil sedan silver, terdengar nampak samar terguyur derasnya hujan sore itu. Lampu sorotnya mengarah ke laki-laki tua itu. Mbah Popo bangkit, membuka penutup kepalanya, mencoba menilik siapa dibalik mobil sedan itu.
Laki-laki itu muncul lagi, dengan pakaian dan kepala yang masih sama. Kepala plontos yang akan berpendar, terbias ketika berbenturan dengan mentari, seperti refleksi pada kaca sepion mobil. Berdiri dengan arogan diluar mobil. salah satu anak buahnya memayunginya dari belakang. Seperti firaun yang tengah mencambuki budak-budaknya.
“Sudah kau pertimbangkan tawaranku waktu itu?” Matanya yang tajam menelisik dengan seksama kearah laki-laki tua itu, pandangan yang menghinakan, seolah jijik melihat tumpukan sampah yang sedari tadi bergulat di got.
“sekali lagi jawabanku tetap sama, tidak!” balasnya datar, sambil kembali lagi membersihkan sampah-sampah yang menyumbat got.
“apa kau lebih memilih seperti ini! Sehari-hari hidup di tengah-tengah sampah seperti ini!” sambil mengacungkan telunjuknya ke sekeliling pria tua itu.
“Ayolah jangan munafik! Disini apa yang bisa kau dapatkan, rumah pun seperti kandang siput, tentunya kau ingin merasakan hidup serba mewah kan?” tambahnya diiringi dengan gelak tawa-yang rasanya agak sedikit dipaksakan.
“Aku sudah tua, mungkin Allah SWT akan menjemputku dalam waktu dekat ini, aku tidak ingin menodainya dengan harus berbohong untuk beberapa lembar rupiah.”
“Apa maksudmu…..?”
“Sudahlah, aku tidak akan pernah mau untuk menjadi saksimu di pengadilan.”
“Apalagi harus berbohong, lebih baik kau cari orang yang lain,” tambahnya dengan mantap.
Pria itu nampaknya geram, tangannya yang besar perlahan-lahan merangkak dari perutnya yang buncit, menuju kantong yang ada di dalam jas hitamnya. Seolah hendak mengambil sesuatu. Kontan para mahasiswa-yang sedari tadi mengawasi dibalik gerbang pondok-datang mengerumuni mereka. Tangannya terpental, seolah disakunya terdapat ular yang sedang menggigit. Gagal. Ia mengurunkan niatnya mengambil sesuatu dikantongnya.
Apapun itu, yang jelas bukanlah permen yang hendak dibagi-bagikan. Dari balik jendela laki-laki itu masih menatap mereka. Tatapan yang membuat siapapun akan melayangkan sepatunya sendiri ketika melihatnya. perlahan mobil itu melesat, menjauh dari mereka semua dan benar-benar menghilang ketika melewati persimpangan jalan. Lenyap ditelan hujan yang kian deras.
***
Fajar belum merekah, ayam milik Mbak Mimin-penjaga warung dekat pondok-belum sempat bersenandung. Tapi anehnya irama orkestra telah bersahaja dari arah halaman Pondok. Deraian jari-jemari sapu lidi, berpadu dengan beceknya tanah akibat hujan kemarin sore. Dengan lincahnya jari-jemari tua itu memainkan sapu. Berlekak-lekok menari di halaman, yang kala itu telah di sulap menjadi panggung orkestra maha dahsyat.
Perlahan irama tersebut berubah, deruan suara langkah kaki yang begitu banyak terdengar di mana-mana. Lambat laun kian keras. kian mendekat. “darr..” terdengar suara benda yang keras dihujamkan ke kepala seseorang. Mbah Popo roboh. Tak sanggup lagi melanjutkan pertunjukannya.
Mbah Popo tersadar, remang-remang ia mencoba melihat sekelilingnya. Putih. Yang ada hanya kabut putih dimatanya. “Apakah ini surga?” tanyanya kebingungan. Dari kejauhan terlihat seseorang serba putih berjalan ke arahnya. Laki-laki itu memasangkan selang-selang kecil di tangannya. “Tenang, anda sekarang berada di rumah sakit,” Jawab laki-laki itu yang ternyata adalah seorang dokter.
Laki-laki tua itu kembali kebingungan, berteriak-teriak tak karuan. Menggacak-acak semua yang ada di sekitarnya. Seolah mencari bagian tubuhnya yang terlepas. Diremasnya tangan dokter itu kuat-kuat.
“Tenang pak,,tenang, Anda aman bersama kami, para polisi sedang mengejar para pelaku yang melukai bapak,” jawab dokter tersebut mencoba menenangkan.
Seolah tak menghiraukan omongan dokter tersebut, teriakannya semakin menjadi-jadi. “dimana……dimana…..?” kembali lagi ia meneriakkan hal yang sama.
“Anda berada di rumah sakit” jawab dokter tersebut yang semakin kualahan meredam amukan laki-laki tua itu.
“diman kaca mataku?”
“Kaca mata anda aman, hanya tergores sedikit di bagian bawahnya.”
Mendengar jawaban itu, Mbah Popo mereda, kecemasan yang beberapa detik lalu muncul kini sirna. Hilang tanpa bekas. Seolah tumpukan es di kepalanya telah mencair.