Oleh: Nur Rizqi Febriandika
“Sia-sia” itulah kata yang tepat menggambarkan ekspresi kekecewaan rakyat terhadap pemerintah. Baik kalangan mahasiswa, buruh, tukang ojek, tukang somai dan segenap rakyat yang notabenenya kalangan menengah ke bawah bersatu padu dalam satu perjuangan. Yakni menolak kenaikan harga BBM.
Namun apa daya, suara rakyat kita tidak dipedulikan, pemerintah tutup mata, tutup telinga dan menutup pintu hati serapat-rapatnya. Dan Seperti biasanya rakyatlah yang terkena imbas atas ketidakpedulian pemerintah. Seakan tidak ada solusi lain memecahkan krisis APBN yang “konon” kian membengkak akibat subsidi BBM.
Pada periode SBY sendiri BBM sudah dua kali naik, di tahun 2010 dan sekarang 2013, jika dulu BBM naik dari harga Rp2400 menjadi Rp4500, kini dari Rp4500 menjadi Rp6500, tidak heran opini publik mengarah kepada kecurigaan terhadap kebijakan BUMN dan pemerintah.
Apalagi setiap kenaikan BBM biasanya diiringi dengan kenaikan pelbagai harga pokok. Kondisi ini diperparah dengan maraknya Kriminalitas dan penyimpangn pasca harga BBM yang semakin meninggi. Seperti contoh penimbunan yang beberapa waktu lalu sempat di expose SOLO POS. kondis ini kian memburuk terlebih lagi melihat kondisi ekonomi negeri ini yang masih labil.
Tingkat pengangguran juga masih tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka pengangguran di Indonesia hingga Februari 2013 lalu sebanyak 7,17 juta orang. Jumlah ini terbilang cukup tinggi jika dibandingkan dengan Negara tetangga, misalnya Malaysia.
Bijak
Walaupun demikian, tidak ada gunanya menyesali dan mengutuk hal yang telah terjadi. Sebenci apapun kita terhadap pemerintah tidak akan bisa mengubah harga BBM yang sudah terlanjur melambung. Segala bentuk kritik yang mengiringi kontroversi kebijakan ini, dengan sendiri akan memudar terkikis dengan waktu. Dan seperti sejarah yang terulang kembali, lambat laun situasi ini pasti mereda hingga ada isu BBM kembali naik. Begitulah seterusnya seolah seperti de javu.
Jika kita pikir dengan sedikit bijak memang kenaikan BBM sebuah keniscayaan, cepat atau lambat pasti terjadi. Terlebih lagi mengingat BBM adalah salah satu sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Sehingga sangat memungkinkan untuk habis. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya kendaraan bermotor yang diluncurkan tiap harinya.
Minyak bumi, dari waktu ke waktu tidak mungkin akan bertambah, segala sesuatu yang ada di alam ini, tidak mungkin akan bertambah begitu juga minyak bumi pasti akan berkurang. Di luar negeri sendiri harga BBM jauh melambung tinggi. Stidaknya ada beberapa hal yang bisa kita lakukan dalam mengatisipasi kenaikan BBM.
Pertama, sebisa mungkin meminimalisir penggunaan kendaraan berbahan bakar BBM. Apabila melakukan perjalanan yang sekiranya tidak terlalu jauh, bisa jalan kaki. Pergi seperlunya, jika memang tidak benar-benar penting sebisa mungkin menahan diri menggunakan kendaraan.
Kedua, beralih menggunakan sepeda kayuh. Ini juga solusi yang bagus sekaligus mengurangi pemanasan global. Ongkos yang dikeluarkan juga relatif lebih hemat dibanding menggunakan mobil pribadi. Ketiga, menggunakan angkutan umum/ bus umus sebagai transportasi utama. Sekalipun terkadang tidak praktis dan sebagainya, setidaknya ini bisa menjadi pilihan alternatif.
Solusi diatas memang tidak akan menyelesaikan permasalahan secara mutlak atau bahkan mungkin tidak terlalu berpengaruh. Terlebih lagi jika harga-harga kebutuhan pokok, pakaian dan sebagainya ikut-ikutan naik dengan dalih BBM naik.
Oleh sebab itu yang bisa dilakukan adalah menaikkan jumlah pemasukan/penghasilan dengan cara lebih giat dan lebih tekun. Bagi mahasiswa tentunya lebih bisa mengatur jumlah pengeluaran dan bersikap lebih prihatin. Terlebih lagi jika kualitas SDM yang dimiliki negeri ini berkualitas dan memiliki kredibilitas yang mumpuni. Harga BBM semahal apapun bukanlah masalah jika rakyat negeri ini makmur semua.