Oleh : Mustaq Zabidi
Mahasiswa sebagai kaum yang terdidik memiliki berjuta harapan dan impian untuk mewujudkan ide ataupun gagasan dari apa yang telah dicita-citakannya selama ini. Bicara masalah harapan, kiranya semua mahasiswa UMS memiliki arah pandang yang dinamis untuk menuju hal tersebut. Terlepas sudah terealisasi atau belum, harapan itu muncul disebabkan oleh adanya keinginan luhur dari mahasiswa untuk menuju tatanan masa depan yang dicita-citakan.
Banyak sekali potensi mahasiswa yang hari ini belum terwadahi dengan baik. Misalnya, bidang kewirausahaan, keolahragaan, akademik dan sebagainya. Hal ini menjadi catatan penting bagi segenap jajaran petinggi kampus, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM U) untuk menjadikan potensi tersebut sebagai sebuah karya yang memiliki daya tawar yang lebih. Pasalnya, hingga hari ini belum ada tawaran nyata untuk merealisasikan harapan dari segenap mahasiswa terlebih bidang kewirausahaan yang seharusnya sudah menjadi bahasan umum.
Mahasiswa umum sudah mewanti-wanti sekian lama untuk melihat bukti nyata akan keterlibatan kampus untuk menghargai segenap potensi yang dimiliki oleh mahasiswa. Mahasiswa memandang, kampus yang dijadikannya sebagai tempat belajar dan berkarya tidak menggiurkan sama sekali. Toh, keberadaan kampus yang seharusnya menjadi sebuah taman pendidikan yang menggembirakan dan mencerdaskan tidak lagi pernah ada, terdengar dan dikenal di kampus UMS. Mahasiswa tak ubahnya hanya sebagai alat perlengkapan untuk menghias lancarnya kepentingan bisnis oleh pihak kampus. Karena kita pikir kondisi kampus hari ini tidak lebih sebagai lapak dagang dengan embel-embel pendidikan yang mencerdaskan.
Bukan menjadi rahasia umum lagi, lembaga pendidikan kampus dimaknai sebagai pola politik-bisnis. Hal ini sudah terbukti dengan fakta yang realistis dan bukan sebagai bualan politik mahasiswa belaka. Contoh, studi kasus di Edupark, yang merupakan kawasan taman pendidikan yang diperuntukkan bagi keperluan riset pendidikan mahasiswa. Kenyataannya apa sekarang yang diperbuat oleh pihak kampus ? justru dijadikan sebagai tempat sewa bagi kepentingan bisnis. Kurang ganteng apalagi mahasiswa hari ini sehingga kampus lebih memilih jalur selingkuh dengan kepentingan penumpang gelap.
Sangat paham betul, mahasiswa tidak akan melarang dan memberi ruang yang lebar bagi petinggi kampus untuk melakukan aktivitas politik. Tapi, harus disadari juga bahwa mahasiswa tidak menginginkan adanya upaya politik yang tak mendidik. Apa gunanya menemukan demokrasi yang pada kenyataannya konsepsi politik yang maslahat tidak muncul pada ruang-ruang seperti itu. Jangan-jangan, doktrinasi yang telah lama berkembang sampai hari ini memperlihatkan wujud politik elite kampus yang tidak beres.
Mahasiswa Perlu Sistem Yang Baik
Di beberapa perguruan tinggi di Indonesia, jembatan mahasiswa untuk mengarungi minat-bakat telah banyak tercetus dengan program-program kampus yang baik. Mereka (baca; petinggi kampus) yang memaknai mahasiswa sebagai kader terbaik bangsa telah memberikan transfer pengetahuan dengan rasa pembelaan yang tiada ujung batas. Karena, pada dasarnya esensi pendidikan adalah kebermanfaatan.
Hal ini seperti ungkapan Paulo Fereire dalam sebuah buku karangannya Pedagogy of the Oppressed (Pendidikan kaum tertindas). Paulo Fereire menyebutkan, pendidikan lama sebagai pendidikan “sistem bank”. Artinya, murid (mahasiswa) hanya sebagai wadah deposit belaka. Karena, dalam proses belajar itu murid (mahasiswa) hanya semata-mata sebagai objek belaka. Apa yang dikatakan oleh si guru hanya tinggal ditelan saja tanpa adanya konsientisasi. Maka dari itu, sebagai alternatif untuk merontokkan pendidikan tersebut, Paulo Fereire menciptakan sistem baru yang dinamakan “problem-posing education” (Pendidikan hadap masalah). Dengan harapan, guru dan murid bisa berpikir bersama. Guru dan murid harus serempak menjadi murid dan guru. Artinya, ada proses dialektika yang muncul sehingga sistem pendidikan seperti ini dianggap lebih penting.
Sebagai kaum yang sehat akan pendidikan, mahasiswa membutuhkan adanya upaya yang mendorong dari proses belajarnya. Sehingga, harapan mahasiswa yang selama ini tersekat dengan sistem pendidikan kampus yang monoton bisa untuk lebih bertransformasi menuju pendidikan yang benar-benar mencerdaskan. Dan harapan yang diinginkan selama ini tidak sekilas harapan yang selalu menjadi bayangan. Melainkan, menjadi wujud realisasi yang diharapkan bagi segenap mahasiswa.