Oleh : Mustaq Zabidi
Permasalahan minat baca di setiap mahasiswa dan organ gerakan mahasiswa mengalami tendensi yang kian memperihatinkan. Buku sebagai alat perantara bukan lagi dimaknai sebagai kawan dekat dalam menambah wawasan secara literatur. Melainkan dianggapnya sebagai barang asing yang kian jauh dan semakin terasingkan. Degradasi baca terhadap mahasiswa semakin menunjukkan arah mahasiswa dan gerakannyayang selalu berkutat pada kebiasaan jahiliyah yang tidak mau menginginkan adanya perubahan dalam diri. Hanya berkutat pada kebiasan lama, kebiasaan malas yang merupakan kamuflase buruk bagi mahasiswa sebagai kaum pembaca dan pemikir.
Kemandulan seperti ini akan dengan mudah timbul dibarengi dengan kekosongan padakhasanah keilmuan. Mahasiswa era kini lebih cenderung pada pola mendengarkan daripada membaca sebagai ikhtiar dari proses belajar. Kecacatan seperti inilah yang menjadikan mahasiswa hanya mampu berpikir secara logika tanpa pemaknaan khasanah secara wacana. Artinya, kemunduran mental seperti ini mengindikasikan mahasiswa sebagai manusia setengah rupa. Karena memang, rupa mahasiswa sudah tidak mencerminkan karakternya sebagai kaum iqro` (kaum pembaca).
Di sisi lain, kecenderungan minat baca buku yang rendah menjadi sentra keterbelakangan mahasiswa yang tidak produktif. Dalam arti, progresifitas menuju khittah mahasiswa akan sulit untuk diwujudkan. Karena, salah satu dosa besar bagi mahasiswa adalah meninggalkan kebiasaan membaca.
Padahal, berkaca dengan banyak tokoh islam (timur) dan barat (eropa), kebiasaan membaca melahirkan banyak sekali nilai yang positif. Salah satunya, melahirkan sebuah karya dan analisis ilmiah yang masih dijadikan rujukan sampai saat ini. Bisa dibilang secara waktu dan situasi yang beribu-ribu tahun lalu sangat berbeda dan jauh seperti era modern saat ini. Seperti, Ibnu Sina (Avicenna) dengan karyanya Qonun fi Thib yang merupakan referensi di bidang kedokteran selama berabad-abad dan Max Weber dengan buku sosiologi agama serta masih banyak tokoh-tokoh penting yang lainnya. Mereka semua berangkat dari hal dasar yang hanya bermodalkan ketekunan dalam membaca dan menganalisis.masalah.
Bahkan, didalam kitab Al Qur`an dengan tafsiran Syech Jalalain telah sangat jelas dikatakan, Rosululloh SAW sebelum menjadi nabi merupakan manusia biasa-biasa saja dan tidak memiliki nilai tawar yang lebih dibandingkan dengan kaum lain di jazirah arab. Proses awal yang dilalui oleh Rosululloh SAW sebagai insan kamil adalah dengan seruan membaca. Kala itu, lidah Rosululloh sangat kaku dan sulit untuk mengatakan sesuatu. Namun, hal itu bisa cair dengan sendirinya berkat sikap pantang menyerah yang dilakukan oleh Rosululloh SAW.
Begitu pula mahasiswa, perlu untuk mencontoh sikap Rosululloh yang pantang menyerah dan berputus asa untuk suatu rasa keingintahuan yang besar. Jika dihubungkan dengan kondisi mahasiswa per hari ini, bisa dikatakan tidak ada korelasi yang berimbas dan membangun yang sangat kentara. Seharusnya, mahasiswa malu untuk selalu menjadi manusia terbelakang dalam kejumudan.
Kebiasaan membaca bagi mahasiswa bukanlah sesuatu hal yang sulit untuk dilakukan. Hanya niat, rasa keingintahuan dan merasa haus akan ilmu, hal itu bisa terwujudkandengan baik. Bisa dikatakan, kecenderungan minat baca buku yang rendah hampir menyeluruh dialami di setiap kampus di Indonesia. Tidak menafikan, seperti kampus excellentUGM, UNDIP dan sebagainya juga mengalami pukulan yang sama dengan kondisi masyarakat kampusnya yang tingkat baca bukunya sangat kecil. Terkhusus, buku-buku sosial kiri, fiqih sosial, dan filsafat.
Sudah saatnya keresahan-keresahan itu ditutup secara bersama dan berkala. Karena, kita tidak menginginkan adanya mahasiswa yang buta dan terbelakang dengan wacana. Artinya, proses mahasiswa menuju manusia yang utuh harus benar-benar terwujudkan dengan riil. Bahkan, Bung Karno pernah mengatakan, jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jas Merah). Bisa diartikan, dunia ini adalah teks yang harus selalu dibaca dan dipelajari.