Oleh : Okta Nama Putra*
“Idealisme adalah satu-satunya kemewahan yang dimiliki pemuda.” – Tan Malaka
Lalu, apa jadinya, jika pemuda kehilangan kemewahan itu? Apakah ia patut disejajarkan dengan sesepuh yang kepalanya telah beruban? Tentu tidak. Karena sesepuh memiliki pengalaman, sedangkan pemuda tidak. Karena pemuda tidak memiliki idealisme, maka tak patutlah ia masuk dalam sepuluh pemuda yang ingin direkrut almarhum Soekarno.
Bahasan mengenai idealisme akan menjadi lebih menarik jika kita menyinggung keadaan masyarakat sekitar dan hubungannya dengan mahasiswa. Saat ini, tidak dapat kita pungkiri bahwa peran mahasiswa dalam roda masyarakat kebanyakan berorientasi pada pola pikir pragmatis dan bagaimana mengubah segala-galanya dengan cara ekstrem yang mengedepankan tendensi pribadi ketimbang visi masyarakat itu sendiri. Sialnya, kebanyakan dari mahasiswa yang berpikir seperti ini akan sangat mudah untuk terpengaruh oleh banyak faktor di luar dirinya jika memang dinilai menguntungkan pribadi. Pada saat kritis seperti inilah, jiwa idealis sangat dibutuhkan, sebab idealisme tidak hanya membangun tembok, tapi juga menguatkan, ia tidak hanya membuat seseorang teguh, namun ia juga mampu berbuat sesuatu. Para mahasiswa yang dinilai oleh masyarakat sebagai cendekiawan dan pemikir bangsa, dianggap sebagai sosok orang yang idealis, diharapkan mampu untuk memberikan pemikiran-pemikiran yang bersih tanpa ada niat jahat di luar dirinya yang memengaruhi otaknya.
Tidak mudah memang mewujud harap itu menimbang bahwa mahasiswa kini cenderung suka pada lingkarang negatif –anggaplah itu seks bebas, narkoba, khamr– tanpa pemahaman baik mengenai nilai, moral dan etika, apalagi ditambah motivasi melakukan hal-hal kecil dan besar diupayakan secepat mungkin sehingga memicu nilai-nilai seperti hedonisme, anarki, keserakahan, subversif dan bibit-bibit korupsi menggerogoti jiwa sebagian mahasiswa.
Belum lagi adanya tuntutan dari orang tua yang menginginkan anaknya mendapat indeks Prestasi tinggi sedangkan sang anak menganggapnya sebagai angin lalu. Masuk kuliah, belajar, titip absen, pakai jasa pembuatan skripsi, lulus, kerja. Sudah. Lalu di mana predikat mahasiswa itu sendiri?
Jadi, dalam hemat saya, tak terbantahkan bahwa begitu berharganya idealisme di era transformasi ini sebagai suatu desakan masyarakat terhadap mahasiswa mengenai tuntutan terhadap title agent of change yang diharapkan dapat menuntun mereka ke zaman pembaharuan, zaman di mana masyarakat tak perlu lagi khawatir dalam beribadah, tak segan lagi menyapa polisi, taat aturan dan berbudaya adiluhung.
Tatkala metode perubahan idealisme dapat menjadi penghela transformasi. Idealisme dapat membangkitkan komitmen yang kuat dan kesediaan berkorban. Komitmen dan kesediaan berkorban ini sangat diperlukan karena proses transformasi sering kali penuh dengan ketidakpastian. Idealisme menunjukan arah transformasi. Arah ini sangat penting agar komunitas dalam institusi dan anggotanya tidak tersesat dalam dalam hiruk-piruknya perubahan dan pertarungan berbagai kepentingan.
Kita, sebagai mahasiswa hendaknya lekas sadar bahwa kita harus mampu memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa idealisme kita merupakan bias kemurnian dari hati untuk memberdayakan mereka, bukan merupakan hasil kontaminasi dari faktor luar. Karena sejatinya seorang mahasiswa adalah pendamping dan pembimbing yang kehadirannya diharapkan mampu untuk menuntutn masyarakat secara luas ke padang yang lebih baik, padang demokrasi yang benar-benar menjunjung masyarakat sebagai nilai tertinggi di bawah Tuhan.
Dalam suatu kesempatan, Hasan Al-Banna pernah berkata sesuatu yang bagus kepada mahasiswa, “Sesungguhnya banyak kewajiban kalian, besar tanggung jawab kalian, semakin berlipat hak-hak umat yang harus kalian tunaikan, dan semakin berat amanat yang terpikul di pundak kalian. Kalian harus berpikir panjang, banyak beramal, bijak dalam menentukan sikap, maju untuk menjadi penyelamat, dan hendaklah kalian mampu menunaikan hak-hak umat ini dengan sempurna.”
*Mahasiswa Farmasi UMS