Oleh : Mustaq Zabidi*
Mahasiswa sebagai kaum intelektual merupakan penggambaran akan tunas pembaharu. Masyarakat umum terlanjur meyakini dan menaruh percaya kepada kalangan anak didik yang dianggapnya mampu merombak segenap keburukan yang muncul. Sebagai keyakinan, yang oleh sebagian orang dianggapnya sebagai ancaman terhadap eksistensi peradaban. Terkhusus, pendidikan yang sampai hari ini dipermainkan oleh muslihat bandar. Pada kenyataanya, realitas di lapangan telah merjawab hal itu dengan hadirnya ancaman disintegrasi pemikiran dan peran dari mahasiswa.
Banditisme pendidikan telah tampak dan mengakar di hampir lingkup pendidikan tinggi. Tak pandang status negeri ataupun swasta, manakala dianggapnya menguntungkan akan leluasa dikeruk sedemikian rakus. Tak ada katasegan dalam melakukan tindakan tersebut, selagi mampu menjadikan nuansa pendidikan yang poor menjadi konsep yang terbungkus dalam neo-kapitalisme. Sedangkan, radikalisme pendidikan telah mewabah dan mencokok di setiap leading sector dengan dalih insentif sebagai prasyarat penunjang pendidikan. Namun, realitanya justru terbalik dan memperlihatkan arah degradasi mental dunia pendidikan. Karena, antara kepentingan pendidikan dengan naluri kepentingan bisnis tidak mampu untuk dipisahkan. Akibatnya, mahasiswa lah yang menjadi korban pendidikan profit dari kaum bandar negeri ini.
Harapan besar telah muncul dari ribuan jerit nurani mahasiswa yang menginginkan pesan perlawanan terhadap mafia pendidikan. Kepadanya, harapan itu muncul begitu kuat dan memberikan signal perlawanan dalam menegakkan panji kebenaran. Telah banyak mahasiswa yang dikorbankan dari serangkaian taktik bandar. Jangan sampai, kita yang ada pada situasi sekarang ini turut berdosa dalam menanggung penderitaan ribuan mahasiswa. Karena dinilai abai dalam menelanjangi bandar pendidikan yang bercokok di balik serangkain kebijakan kampus yang tidak rasional. Hal itu diyakini betul, bahwa skema permainan bandar telah mengobrak-abrik tatanan pendidikan yang sepatutnya. Bagaimana tidak, hadirnya bandar pendidikan (non-migas) akan membawa kepentingan yang tidak lazim dicerna oleh kebanyakan orang seperti layaknya orang waras.
Sementara, sistem pendidikan yang telah umum berjalan sampai saat ini adalah afiliasi dari kapitalisme pendidikan. Dengan konsep deposito, yang oleh pejuang pendidikan Paulo Freire dianggapnya sebagai keterbelakangan sistem yang tidak mencerdaskan. Memang, disadari atau tidak keraguan yang muncul dari segenap mahasiswa terhadap kebijakan kampus adalah sebuah upaya yang bagi orang Jawa menyebutnya sebagai pemplekotoan. Sehingga, akan lahir banyak plekoto-plekoto yang mudah dijadikan babu oleh pihak kampus.
Ibarat mata meyakini, mulut mengamini dan hati dipaksa mengingkari dirasa sebuah penggambaran akan kondisi pendidikan yang telah tercabuli – oleh budayawan- dikatakan sebagai kalangan tak beradab. Maka dipandang pantas bagi pemangku kebijakan yang tidak lagi menggunakan mata hatinya sebagai saklar dalam berpikir untuk lebih menenangkan syahwat egonya. Jangan sampai, terlalu leluasa menggunakan sahwat hewaninya dengan bertingkah secara nakal dan semena-mena.
Amanah revolusi telah menggariskan pesan yang amat dalam bagi jutaan mata mahasiswa. “Ridho” perlawanan telah tersabda di awal revolusi sebagai bekal perjuangan untuk pantang berkelok dalam melakukan penumpasan terhadap kaum penggeser peradaban. Pendidikan yang dimaknai sebagai taman yang teduh telah digeser oleh lonjongan tangan aparatur yang alot. Sedangkan, kepentingan individu/golongan dengan riang ditonjolkan sebagai bentuk ekspresi atas keberhasilan diri dalam menindas kaum yang lemah.
Hukum rimba akan silih berjalan, manakala yang kuat berkutat pada egoisme pemikiran dalam merumuskan kebijakan kampus. Sedangkan, bawahan hanya menjadi luka dan penderitaan yang selalu lemah dimata penguasa. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al Hujurat, 49:13).
Menengok penggalan kalimat dalam ayat Al quran diatas, dalam tafsiran politik dikatakan bahwa antara laki-lakidan perempuan (segenap mahasiswa) dianjurkan untuk menggalang kekuatan satu sama lain.Terlepas,dengan hadirnya perbedaan ideologi atau corak pandang pemikiran yang menjadikannya untuk saling mengenal. Penggambaran situasi tersebut sangat pas jika disinkronkan dengan situasi kampus hari ini. Hal itu harus diamini bersama, karena antara pemegang kebijakan dengan pelaksana (mahasiswa) tidak menunjukkan sikap saling mengenal, baik secara karakter ataupun pemikiran. Kebijakan kampus tidak boleh hadir karena tumpang tindih kepentingan melainkan satu paket keberpihakan yang saling mengenal (simbiosis mutualisme).
Tak Haram Melawan
Pepatah mengatakan, diam ditindas atau diam dilawan (melawan). Secuil kalimat tersebut kerapkali dijadikan konsumsi semangat perjuangan kaum mahasiswa dalam melawan aparatur kampus yang tidak peduli dengan nasib mahasiswa.
Teks sejarah tidak pernah melampirkan stempel haram bagi pejuang kebenaran untuk menegakkan panji-panji kebajikan. Justru, melipatgandakan bagi pelaku perjuangan sebuah api semangat perlawanan dan rangkulan kekuatan. Jika dikatakan hari ini pihak kampus telah melangkah ke arah yang tidak tepat bisa untuk dengan khidmat diingatkan secara bersama. Manakala, hal itu sangat susah untuk diingatkan, maka tiada salah bagi kaum mahasiswa untuk menggiring arus massa perlawanan.
“Jangan biarkan mahasiswa tercekik dengan kebrutalan kebijakan kampus yang tidak manusiawi. Ingatlah bahwa KITA telah digiring oleh kepentingan semu dengan mengatasnamakan pendidikan sebagai janji politik. Otak mahasiswa telah banyak dicuci dan dijauhkan dari doktrin Idealisme MAHASISWA. Mari bersikaplah sebagai MAHASISWA bukan sebagai BABU”. LAWAN….!!! LAWAN….!!! LAWAN…!!! RUNTUHKAN REZIM….!!!
*Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis UMS