Oleh Bung Gasrul*
“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya”.
Ki Hadjar Dewantara
TERUS terang. Aku adalah orang yang paling tidak sepakat dengan mereka yang bertanya dengan keras di depan wajah mahasiswa baru, “Punya telinga ndak ?”, Juga dengan mereka yang berkata kotor atas nama pendidikan kepada Maba (Mahasiswa Baru). Di kumpulkan ditengah lapangan sejak jam 05:30 dengan membawa barang-barang (penuh misteri?) yang di syaratkan oleh mereka, panitia PPA Fakultas Hukum, salah satunya adalah sayur warehouse. Di tekan-tekan hingga sebagian dari mereka tak berani angkat bicara, memilih untuk tutup mulut, atau bahkan menggeliat pun mereka tak punya keberanian. Di interogasi sampai menangis ketakutan. Bukankah ini tidak wajar ? Apalagi hal semacam perpeloncoan ini terjadi dalam program pengenalan akademik. Kiranya bukan hanya tidak wajar, namun sudah keluar dari konteks pengenalan akademik.
Mereka mengaku negerinya telah ‘merdeka’. Entah merdeka yang seperti apa yang mereka maknai, apakah pemaknaan merdeka yang mereka maknai sebatas mampu melepaskan diri dari negara yang ada dan akhirnya berdaulat daripadanya ?. Atau memang mereka mampu merefleksikan dan menjunjung nilai-nilai yang ada dalam sebuah hakikat kemerdekaan itu sendiri ?. Namun, entahlah. Yang pasti dulu ada sekolompok gerakan separatis untuk memecah belah ini negeri—tatanan mahasiswa kita, UMS—yang sudah sekuat daya untuk merefleksikan dan menjunjung tinggi nilai-nilai sebagai manusia merdeka.
Hadjar Saja !
Ya! Sekiranya aku seorang Belanda, malulah aku pada perbuatanku yang membredel mulut merdeka mereka (Mahasiswa Baru), ‘menginjak’ tengkuk mereka yang sudah dengan sabar menerima ajaran dari guru mereka. Agaknya kita perlu belajar sejarah yang kemudian dengan keterus terangan kita mampu mengakui tindak-tanduk kita sebegai bangsa sebuah negeri yang merdeka. Sekalipun, kemudian kasus para mahasiswa yang ketika ditanya tentang Pancasila itu tidak hafal—keterlauan sungguh. Namun, bukan dengan cara memaki, mencemooh, membentak, menekan mereka kita harus mendidiknya. Lihatlah! Ki Hadjar saja mendidik rakyat dengan ‘Taman Siswa’ bukan ‘Penjara Siswa’.
Atas nama kemerdekaan. Lihatlah! Ki Hadjar saja yang hidup di bawah situasi penjajahan mencoba untuk memerdekakan rakyatnya. Panitia PPA Fakultas Hukum malah menjajah Mahasiswa baru dengan ketakutan, ketertekanan, dan seterusnya, yang berada dalam arena kemerdekaan. Mereka berani membantah spirit yang dipegang teguh Ki Hadjar, kemerdekaan pendidikan. Mereka juga berani beradu mulut dengan tonggos mulutnya Wiji Thukul. Ia memperjuangkan nilai keberanian untuk memutus rantai kebodohan, lha Panitia PPA Fakultas Hukum malah menyambung rantai kebodohan dengan menekan dan menakuti mereka. Kita hidup di zaman apa ? Penjajahan Belanda kah ? Kemerdekaan kah ?. Sebenarnya, kita itu siapa ? Bangsa yang merdeka kah ? Para Penjajah kah ?. Patutnya kita mendidik anak-anak (Mahasiswa Baru) sesuai dengan zaman kita—begitulah pesan Imam Syafii. Kita sebagai manusia yang merdeka, manusia yang hidup di zaman kemerdekaan, wajiblah bagi kita merdeka dan memerdekakan dalam arti seluas-luasnya, tentu dalam batasan yang baik dan positif.
*Nama pena Sahrul Romadhon, Mahasiswa Fakultas Hukum semester III