Oleh : Mustaq Zabidi*
Kontroversi mengenai Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) nomor 16/2015 yang menyatakan bahwasannya uji kompetensi bahasa Indonesia bagi pekerja asing dihapuskan. Hal ini dilakukan berdasarkan hasil revisi undang-undang sebelumnya nomor 12/2013 terkhusus pada pasal 38. Setidaknya, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali Permenaker tersebut. Apakah relevan atau tidak dengan kondisi bangsa saat ini. Kalau memang saja konteksnya sekedar kerjasama investasi antara pemerintah dan asing mungkin saja hal itu bisa dimaklumi. Namun, kalau konteksnya sudah mengenai hubungan kerja antara pekerja dengan pihak kerja dan masuk kuota berdomisili di Indonesia maka pekerja asing harus memiliki kemampuan untuk berbicara bahasa Indonesia. Meskipun, fasih atau tidak dalam berbicara bahasa Indonesia yang jelas memiliki kemampuan dasar untuk berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
Bagaimana bisa peraturan mengenai uji kompetensi berbahasa Indonesia bagi pekerja asing ini dihapuskan. Sedangkan, para TKI yang bekerja di luar negeri justru mereka diwajibkan untuk memiliki keahlian berbahasa dan pemahaman budaya sesuai dengan negara yang dituju. Lalu, dimana kewibawaan bangsa Indonesia dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa sebuah negara. Seakan-akan, hal ini mulai dilupakan begitu saja padahal hadirnya bahasa merupakan identitas dari sebuah bangsa.
Fondasi dasar dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara ini harus mengacu pada sejarah dimana bangsa ini terbentuk. Bahwa bahasa Indonesia berakar dari bahasa melayu yang mana sudah umum dan dipahami di negara-negara Asia Tenggara. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa melayu yang dijadikan bahasa Indonesia pada Abad ke-7 ini sudah lebih dulu ada sebelum bangsa ini terbentuk secara yuridis. Artinya, sebelum bangsa ini berbicara lebih jauh mengenai ekonomi masyarakatnya kehadiran bahasa Indonesia sudah lebih dulu ada. Maka tidak salah kalau hari ini keberadaan bahasa Indonesia harus benar-benar dijunjung tinggi dan dimartabatkan.
Kebijakan pemerintah mengenai penghapusan bahasa Indonesia sebagai syarat bagi pekerja asing yang akan bekerja di Indonesia adalah dilema jika dihubungkan dengan konteks sosial-ekonomi saat ini. Dimana, kekuatan ekonomi Indonesia menunjukkan pergerakan yang melambat. Apalagi, kurs nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sudah terpukul begitu jauh sehingga menyebabkan kecemasan bagi pelaku ekonomi domestik. Mau tidak mau hal tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah yang harus diselesaikan.
Kecemasan para pelaku ekonomi dalam negeri sedikit memperlihatkan rasa khawatir terhadap keberlangsungan bisnis. Rasa was-was yang timbul akan memberi efek pesimistis sekaligus dampak minus yang akan terjadi. Bisa dibayangkan, seperti apa nasib ribuan kaum buruh yang akan terkatung-katung. Bagaimana tidak, ketika nilai tukar rupiah melemah dan stok pekerja asing berambisi masuk dalam bursa kerja maka ketimpangan terhadap hubungan kerja dalam negeri akan terganggu. Belum lagi, ketika ada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara besar-besaran sudah barang tentu akan menambah kembali rentetan persoalan buruh.
Melambatnya pertumbuhan ekonomi dan terpuruknya rupiah terhadap mata uang asing dirasa menjadi faktor dimana kebijakan Permenaker nomor 16/2015 ini dirumuskan. Tak dipungkiri, hal ini menimbulkan persepsi bahwa dengan adanya aturan penghapusan bahasa Indonesia maka akan memudahkan para pelaku ekonomi atau investor asing untuk melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia. Sehingga, kebutuhan akan lapangan kerja dalam negeri bisa sedikit terpenuhi dan penurunan terhadap angka pengangguran sedikit terjawab. Kalau memang persoalannya demikian, seharusnya yang dibangun oleh pemerintah adalah penguatan ekonomi bagi pelaku UMKM. Rakyat harus didorong dan dipermudah aksesnya dengan baik sehingga fondasi dasar ekonomi kerakyatan akan terbangun dengan kuat. Namun, hal ini belum sepenuhnya mampu diimplementasikan oleh pemerintah dengan baik. Bahkan, sosialisasi mengenai pelatihan dan keterampilan bagi rakyat justru lebih akrab dinikmati kerabat birokrat di beberapa instansi pemerintah.
Kalau pemerintah hari ini mengatakan dengan hadirnya ribuan pekerja asing ke Indonesia maka akan membawa keuntungan lebih bagi Indonesia, dirasa sedikit berlebihan. Tidak hanya itu, dengan hadirnya para pekerja asing maka transformasi pengetahuan dan pengalaman akan mengalir disitu adalah penggambaran realita yang tidak sesuai. Persoalannya sederhana, kalau pemerintah menginginkan adanya transformasi keilmuan kenapa tidak melakukan peningkatan hubungan kerjasama bilateral yang sifatnya korporasi. Seharusnya, hal-hal seperti ini yang harus dibangun sehingga tidak hanya perusahaan yang diuntungkan, namun pemerintah dan juga negara.
“Perlu” Eksistensi Bahasa Indonesia
Sebenarnya, hal yang dipersoalkan oleh rakyat hari ini bukanlah sepintas mengenai ketakutan akan membludaknya pekerja asing ke Indonesia. Namun, martabat bahasa Indonesia yang hari ini muncul seakan-akan tidak lagi menunjukkan sesuatu yang sakral. Jangan gara-gara masalah ekonomi kemudian martabat bahasa Indonesia dan harga diri bangsa di obral begitu saja. Ingatlah, bahwa kita tidak boleh meluluhlantakkan catatan sejarah. Namun, lampiran catatan sejarah yang telah lebih dulu ada harus dijadikan bekal dalam mengarungi persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Degradasi dalam pemaknaan bahasa Indonesia di lingkungan kehidupan berbangsa dan bernegara telah menunjukkan situasi yang memprihatinkan. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar justru jauh dari harapan yang dicita-citakan. Lalu, bagaimana kita dapat mengukur bangsa ini ke arah yang lebih baik kalau hal-hal dasar mengenai berbahasa masih saja bermasalah.
*Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis UMS