Oleh : M. Abdur Rohman*
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwasanya Indonesia memiliki dua musim, yaitu musim penghujan dan kemarau. Secara teori, musim penghujan terjadi antara bulan oktober sampai april dan selebihnya ialah musim kemarau. Dua musim yang ada di Indonesia tersebut jelas sekali merupakan sebuah berkah, tetapi tak jarang pula berubah menjadi dua musim yang sering di anggap membawa musibah.
Musim kemarau yang berkepanjangan sering menjadi ladang garapan bagi para pemilik modal untuk membuat alasan dengan maraknya kebakaran yang terjadi. Pembakaran hutan untuk membuka lahan baru seolah menjadi sebuah cerita rakyat yang tak kunjung habis. Namun musim penghujan ternyata juga tak lepas dari masalah. Yaitu dengan banyaknya masalah seperti badai dan banjir seringkali menjadi momok masyarakat ketika hujan datang.
Tentunya kita masih ingat beberapa minggu yang lalu ketika kabut asap mengepung di banyak daerah di nusantara. Banyak diantara kita yang berdoa dan meminta agar segera diturunkan hujan. Berbagai usaha telah dilakukan seperti halnya dengan pengerahan SAR ke tempat terjadinya kebakaran, menyewa pesawat pembom air dari luar negeri, melakukan sholat istisqo dan bahkan di media sosial ada yang meminta menyiapkan air di baskom dan ditaruh di depan rumah.
Ketika Tuhan memberikan Rahmah – Nya berupa hujan, ternyata tidak semerta-merta membuat masyarakat menjadi tenang. Ada ketakutan akan terjadinya bencana laten musim penghujan yaitu banjir. Bencana tahunan yang sering terjadi di kota-kota besar negara dengan keindahan alam yang luar biasa ini.
Dahulu kala, boleh kita menganggap bahwa jika musim penghujan datang hanya Ibu kota Jakarta yang bakal terkena banjir. Tetapi itu cerita masa lalu. Saat ini kota-kota besar lainnya di Indonesia juga tidak bisa lepas dari ancaman bencana banjir, salah satu kota yang mengalaminya adalah Solo. Dengan hal itu, fasilitas-fasilitas umum layaknya kantor-kantor, sekolah, perguruan tinggi tentu juga terkena imbasnya. Hal ini bisa kita ambil contoh ancaman banjir yang terjadi di kompleks Griya Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Banjir yang terjadi di Griya Mahasiwa memang sudah menjadi momok bagi Ormawa yang berkantor di kompleks Griya Mahasiswa. Bagaimana tidak,, sejak akhir tahun 80-an ketika ada pembangunan jalan raya di dekat kampus, area Griya Mahasiswa terkena imbasnya berupa air cokelat yang itu jelas bukan susu seperti cerita di surga. Ternyata tidak hanya sampai disitu. Berlanjut pada kisaran akhir 2009 dan yang terbaru adalah musim hujan tahun lalu lagi-lagi air tersebut datang menghampiri.
Dari kawan-kawan yang ada di Griya Mahasiswa sebenarnya sudah ada bentuk usaha berupa pembuatan rongga-rongga resapan air dan membebaskan sumbatan-sumbatan yang ada di selokan di area Griya Mahasiswa. Namun itu hanya bisa berfungsi dengan baik ketika intentisas air kecil. Jika air yang datang besar, maka usaha tersebut hanyalah menjadi isapan jempol semata.
Tentunya harapan besar dari kami akan ada tanggapan dari jajaran stakeholder kampus ini. Baik itu langsung sendiri ataupun melalui tangan kanannya di Ormawa (BEM UMS). Sebenarnya yang ada di kompleks Griya Mahasiswa bisa untuk bersama bekerja bakti. Tetapi saya kira akan kurang maksimal jika dibandingkan dengan koordinasi terpusat oleh yang berwenang. Program pencegahan jangka pendek dan jangka panjang semoga sudah selesai direncanakan dan tinggal segera di aplikasikannya. Amin. Hidup Mahasiswa.
*Mahasiswa PGSD semester tujuh