UMS-Karena dianggap memiliki orientasi seksual yang tak lazim, banyak mitos yang berkembang mengenai adanya kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Salah satunya adalah mitos mengenai LGBT yang menular.
Dokter spesialis bedah saraf dari Rumah Sakit Mayapada, Roslan Yusni Hasan atau yang akrab disapa Ryu menegaskan, orientasi seksual LGBT tidak menular.
“Tentu tidak menular (red-LGBT). Orientasi seksual dan lainnya itu struktur di otaknya sudah ada,” jelasnya, pada Selasa (9/2).
Ryu menjelaskan, orang yang menjadi gay setelah sering berkumpul dengan gay karena memang sebelumnya sudah ada bakat dalam diri orang tersebut. Lingkungan sosial akhirnya bisa memicu seseorang yang memiliki bakat gay kemudian menjadi gay.
“Kalau punya bakat, lalu kumpul sama homoseksual, ya makin jadi homoseksual. Bakatnya, kan ada. Tapi, yang enggak ada bakatnya ya enggak jadi ikut homoseksual,” katanya.
Ryu mengungkapkan, pada dasarnya janin dalam kandungan adalah perempuan. Kemudian janin berkembang menjadi jenis kelamin perempuan dan ada tumbuh testis sehingga menjadi jenis kelamin laki-laki di usia kehamilan 8 minggu. Perubahan pada kadar hormon-hormon tertentu menyebabkan perubahan pada janin sehingga terbentuk perbedaan jenis kelamin.
Lalu, bagaimana kemudian jenis kelamin laki-laki menyukai laki-laki atau jenis kelamin perempuan menyukai perempuan? Hal tersebut tergantung dari susunan saraf pada otaknya. Struktur otak itu telah terbentuk saat janin masih dalam kandungan dan tidak bisa diubah. Sistem saraf dan struktur otak dipengaruhi oleh banyak hal, mulai dari asupan makanan, faktor genetik, hingga hormon dari orangtua maupun bayi itu sendiri.
Menurut Ryu, tidak ada yang salah dengan manusia yang terlahir LGBT, hal itu merupakan variasi dari struktur otak manusia yang berbeda-beda. Seperti halnya, ada manusia berkulit hitam, putih, rambut lurus, keriting, suka musik, suka matematika, begitu pula dengan adanya LGBT.
Editor: RK
Sumber: kompas.com