- Belajar Menerima Kritik
Di pelbagai buku sejarah, rezim orde baru telah mencatatkan bagaimana sikap mereka yang anti terhadap aspirasi dan kritik. Segala bentuk aspirasi dibungkam, segala kritik dinetralisasikan dengan upaya represif. Berpikir kritis bagi negara seolah-olah dijadikan hal yang tabu untuk rakyat. Pepatah diam adalah emas seakan-akan menjadi jargon untuk menjaga stabilisasi negara. Marsinah, Widji Thukul, Amir Bakki adalah sederet nama-nama yang mencoba untuk mengemukakan pendapat tentang bagaimana negara ini seharusnya diatur. Mereka mencoba menyalurkan aspirasi yang berkaitan dengan kelayakan kehidupannya. Akan tetapi nasib memang tak dapat ditolak, malang tak dapat diraih. Sikap represif pemerintahan Soeharto akhirnya yang mengakhiri hidup mereka. Nama-nama ini akhirnya tak pernah dapat ditemukan lagi hingga sekarang, sebagian nama bahkan ditemukan pada ukiran batu nisan.
Setelah berkuasa selama 32 tahun. Akhirnya rezim Soeharto runtuh dengan meninggalkan banyak warisan negatif. Alhasil Rezim selanjutnya pun harus rela memungut segala bentuk peninggalan yang ditinggal rezim orde baru. Utang yang menumpuk, kurs rupiah terhadap dolar yang meninggi, dan demo yang hampir terjadi sepanjang napas orde awal reformasi. Demontrasi berkepanjangan adalah puncak ekskalasi (kenaikan-red) dari rasa muak rakyat yang telah ditindas haknya untuk beraspirasi dan suara untuk mengritik pemerintahan selama masa pemerintahan presiden Soeharto.
Menurut Susanto (dalam Sobur, 2001:195), kejatuhan rezim orde baru telah memberikan pelajaran tentang bagaimana perlunya melibatkan kritik dalam dinamika pemerintahan. Tanpa adanya kritik sebagai pengawas dan kontrol sosial, yang terjadi adalah penyelewengan kewenangan pejabat, para elit politik yang menjalankan negara ini sebagai oligarki (pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu-red) yang seenak hati, dan perampasan hak-hak rakyat. Pembungkaman atas kritik sesungguhnya adalah pembungkaman akan prediksi masa depan rezim pemerintahan yang anti-kritik. Runtuhnya rezim orde baru Soeharto hanyalah satu dari sekian banyak contoh negara otoriter yang jatuh akibat dari sikap apatisnya terhadap kritikan rakyat. Padahal kritik sosial bila ditujukan kepada sekelompok elite politik, biasanya yang dipermasalahkan adalah mengenai ada tidaknya pelaksanaan fungsi dan tugasnya berdasarkan etos dan moralitas yang tinggi, sebagaimana yang selalu diharapkan masyarakat luas dari lapisan atas yang sering menjadi contoh bagi kebanyakan.
Jadi, rakyat mengemukakan kritiknya kepada pemerintah yang menyelenggarakan kehidupan bernegara mereka. Semua ini dilakukan dalam rangka menjadikan negara lebih baik dalam setiap langkah yang mereka pijakkan. Rakyat hanya ingin semua berjalan sebagaimana mestinya dan berjalan seperti seharusnya yang mereka dapatkan. Tak kurang tak lebih. Karena pada dasarnya pemerintah berjalan untuk rakyat. Jadi apabila rakyat mengkritik dan menjerit, di situlah terdapat cacat fungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Sebelumnya banyak negara-negara fasis yang jatuh akibat menimbun aspirasi dan kritikan rakyatnya. Seperti Italianya Mussolini, Argentina era Videla, dll. Negara-negara dengan kekuasaan pemerintah yang bersifat diktator ini biasanya menyesuaikan sikap pemimpinnya yang totaliter dan otoriter. Dengan sikap pemimpin yang tumpul akan kritik dan aspirasi, bibit-bibit penindasan oleh pemimpin akan tumbuh, dan ketika berbuah akan menjadikan negara tersebut menjadi negara yang tiranis.
Sikap anti kritik harus dihindari untuk menjauhkan diri dari stagnasi (terhenti-red) pengembangan karakter diri dan mental. Sikap anti kritik akan menumbuhkan sikap over confindent atau hanya percaya diri sendiri dan hanya menerima-menerima masukan yang nonkritik. Nantinya sikap tidak mau ambil pusing terhadap kritik ini akan menimbulkan bibit-bibit sifat dan sikap otoritarian. Mereka (yang anti kritik) tidak mau menerima kekurangan-kekurangannya masing-masing. Mereka tidak mengakui akan segala kekurangannya. Mereka hanya percaya pada kaki tangannya. Dan suara yang masuk di telinga adalah suara-suara para daeng kepercayaan mereka, yang tau bagaimana cara mencuri hati tuannya.
Lalu untuk menyikapi kritik secara bijaksana perlulah kita sedikit berguru dengan salah satu negarawan besar kita, Susilo Bambang Yudhoyono yang akrab disapa SBY. SBY pernah berujar, “Kritik itu laksana obat, apabila dosisnya tepat akan menyehatkan, tapi apabila dosisnya kurang tepat bisa jadi tidak menyehatkan”. Bisa jadi menurut SBY, kritik itu obat maka pengkritik adalah dokter. Dan bila memang kritik itu obat, maka pihak terkritik adalah orang sakit.
Penulis: Muhammad Taufik
Editor: Depi Endang Sulastri