Salah seorang senior di UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang saya geluti di kampus pernah bertutur kepada saya, ketika melakukan peliputan berita, seringkali ia berhadapan dengan seorang figur penting di kampus yang tidak tahan dengan kritik. Tatkala senior saya meliput pemberitaan yang sedikit mengandung kritikan mengenai figur tersebut, maka ia akan menutup rapat kesempatan untuk memberikan jawaban perihal pertanyaan wawancara. Sikap figur ini tentu saja menunjukkan bahwa ia alergi dengan kritik. Senior saya pun sangat menyayangkan hal tersebut, menurutnya figur ini sebenarnya adalah sosok yang terbuka, tetapi tidak terbuka untuk kritik. Padahal kenyataannya, dalam kehidupan kita seringkali menemui dengan apa yang bernama kritik. Entah saat kita sedang melakukan suatu hal, apabila hal tersebut adalah hal yang dianggap salah oleh beberapa orang, maka jangan heran bisa jadi kritik akan datang menghampiri. Semisal, kita makan dengan tangan kiri, maka ada suara sahutan. “Hey jangan makan dengan tangan kiri, Rasulullah SAW tak pernah mengajarkan kita untuk makan dengan tangan kiri”. Ini adalah contoh bentuk kritik terbuka terhadap kesalahan yang kita lakukan.
Dari contoh kecil tersebut, dapat kita ambil inferensi bahwa kritik dapat menjadi sensor akan kesalahan yang kita perbuat. Kritikan pun bisa dijadikan bahan introspeksi atas kelalaian yang kita lakukan karena kritik menentukan nilai kenyataan yang dihadapinya. Sejatinya kritik tak hanya datang dalam kesalahan-kesalahan manusia. Sebuah perbuatan yang dianggap umum sebagai perbuatan benar seperti ibadah salat pun bisa menjadi sasaran kritik. Contoh seperti membaca doa qunud saat salat, bagi sebagian pihak ini adalah cacat kebiasaan karena bagi pihak tersebut doa qunud tak wajib dan tak ada dalilnya. Dan pihak yang kurang sepaham ini akan memberikan solusi dari kritik dengan bacaan lainnya. Biasanya ada dua kejadian setelah perkara ini, yang pertama, debat berkepanjangan yang kadang tak berujung. Kedua, salah satu pihak akan menerima kritik tersebut sebagai masukan tanpa mengesampingkan ajaran utamanya.
Kejadian tersebut dapat menunjukkan, bagaimana kritikan tetap akan datang pada sebuah perbuatan yang sering dianggap tidak wajar. Sebab segala sesuatu hal yang benar dan salah tak akan mendapat sebuah nilai yang sama bagi semua orang, karena adanya ketidaksempurnaan. Disinilah kritik hadir dalam setiap ketidaksempurnaan itu dan berperan sebagai kontrol sosial, analisis atau evaluasi terhadap suatu kerja atau karya. Kritik dalam bahasa Yunani berasal dari kata krities yang berarti memisahkan atau memperinci. Nyatanya, memang individu akan melakukan perincian, atau pemisahan dalam setiap pengkajian masalah. Dan selanjutnya mereka golongkan dalam mana yang termasuk nilai atau mana yang bukan nilai. Jadi maknanya, kritik adalah penilaian atas nilai itu sendiri. (Kwant, 2001:195).
Orang yang sanggup melontarkan kritik atas segala hal yang dilakukan orang lain harus paham atas apa yang ia kritisi. Disini dapat dilihat bagaimana pentingnya memperinci dan pemisahan atas hal-hal yang perlu diberi penilaian. Karena tanpa perincian dan pemisahan hal-hal yang perlu dinilai, akan terjadi penelanan masalah secara bulat-bulat dan ujung-ujungnya kritikan yang terlontar tidak tepat sasaran. Jika kritikan tidak mengenai sasaran akibatnya kritik tersebut malah bisa berubah menjadi bumerang bagi si pengkritik. Perasaan malu juga akan diterimanya. Sehingga apabila ingin melancarkakan kritik yang benar-benar tepat harus paham akan situasi, kondisi, permasalahan, dan dosis yang tepat. Bila hal-hal seperti ini diperhatikan dalam membangun kritik, maka rata-rata kritik dapat diterima dengan baik oleh objek kritik.
Penulis: Muhammad Taufik
Editor: Depi Endang Sulastri