Namun ini adalah musim semi, dimana salju telah berakhir.
Ya, bukan itu alasannya. Mengapa Eleza mengaitkan kardigannya untuk Kevin. Tapi semua itu hanya agar mereka tetap bisa bersama, sebelum semua kembali terselimuti awan kelabu itu, dan kembali seperti sedia kala. Dan ia pasti akan segera datang, sebentar lagi, mengakhiri segalanya. Meski tak mau, ia tetap harus menerimanya, dan menuntun Kevin untuk kembali.
Eleza terlihat sejenak melupakan luka itu, dan segera terperanjat menatap luas atmosfer malam.
“Kevin! Disana, cepat lihat…”
Kelopak matanya segera menurut mengikuti arah jari telunjuk Eleza, mengikuti arah gerakan bola mata gadis itu.
Semua orang berhenti dan siap memasangkan kameranya masing-masing. Bergerumun, di sepanjang jalanan Park dalam nuansa pink pucat malam.
Kevin menyadari waktu yang telah dijanjikannya pada Eleza. Segera ia merogoh saku celananya, berusaha untuk menemukan sepasang cincin perak yang tadinya melingkar layu pada jari tangannya sendiri.
Saat ini, adalah pertemuan keduanya.
Ia menatap Eleza yang tak henti mendongak ‘tuk menyaksikan bayangan rembulan yang mulai berputar hingga bumi menutupi penampang sang bulan dan membuat biasan jingga kemegahan mentari tertutup olehnya. Seiring bergulirnya detik waktu, membuat pijakan mereka tenggelam dalam kegelapan. Kevin memutar tubuhnya menatap gadis itu, meraih jari-jemarinya dengan bulir kebahagiaan yang jelas terpaut di balik lensa tipisnya.
“Ini waktu yang kau tunggu, Marry me, Eleza…”
Segera Eleza menyekat air matanya yang tanpa terasa begitu saja menuruni sudut matanya. Telapak tangan kanannya menutupi separuh raut wajahnya yang tenggelam dalam haru bahagianya. Ia memang telah menantikan ini sejak lama. Namun Kevin selalu mengulurnya begitu sering, hingga terkadang membuat Eleza jengkel, meski keraguan itu tak pernah datang.
Disematkannya cincin perak itu pada jari manis tangan kiri Eleza, beriringan dengan kembalinya biasan cahaya mentari yang mulai mengintip sedikit demi sedikit, menampakkan bulan seperti sedia kala.
Waktu tak dapat dihentikan.
Ia terlalu cepat berotasi, hingga bulan-pun mulai kembali temaram tanpa bayangan bumi. Dalam kejapan mata elangnya, kebahagiaan itu sirna.
Cincin itu tersemat dalam angan, dan terjatuh…
Ia menghilang, bersamaan dengan bayangan bumi yang meninggalkan sang rembulan. Sang bulan kini pergi jauh meninggalkan bumi, sendiri dalam kehampaan, bersama dengan kenangannya disini. Hanya sepi dan air mata yang menemani. Juga suara sirine ambulans, yang kini kembali terdengar. Orang-orang dengan jas putihnya mulai berhamburan dan meringkuk kedua lengan Kevin paksa. Meski ia mencoba ‘tuk melawan, namun lengan mereka lebih kekar dan banyak. Meski ia mencoba ‘tuk berteriak, tak ‘kan ada orang yang bersedia mendengarnya. Karena ia telah pergi, dan membuat kesendirian itu.
Ia kembali pergi.
***
Bersambung…
Penulis adalah Ika keysa. Penulis dapat dihubungi di akun @envychy_oxy dan facebook ikakeysa
Pengen kayak Ika keysa?
Yuk nulis!
Cerpen atau puisi maks. 5000 karakter, bukan plagiat atau mengandung sara dan tidak ada unsur kekerasan ataupun pornograf, belum pernah dipublikasikan dimanapuni. Cerpen atau puisi yang masuk hak milik perusahaan.
Kirim cerpen ataupun puisi ke Koran@pabelan-online.com