Grunewald—sebuah area hijau yang terletak di barat kota Berlin, selalu menjadi objek favorit dalam lensa kameranya. Mengintip kecantikan sungai Spree yang teduh di balik lensanya, merupakan kegemaran tersendiri kala waktu senggang itu singgah. Dengan ditemani oleh angin yang bergemerisik mengusik dedaunan yang mulai menguning pada pohon, yang tumbuh rindang pada setiap sudut rerumputan hijaunya. Bahkan beberapa diantaranya kering dan mulai berguguran terhempas angin.
Kini, lensa kameranya telah menemukan objek lain yang jauh lebih menarik, disana. Seorang gadis manis berambut pirang yang dibiarkannya terurai terhempas helaian angin pagi, duduk dengan anggunnya di balik desiran pohon akasia. Menatap kosong laut Spree yang menyemburatkan kilauan akibat biasan sinar mentari yang mulai meninggi di atas kepalanya. Ia melangkahkan kakinya mendekati gadis itu. Semakin dekat, nampak bulir hangat mengalir lembut dari sudut matanya. Dienyahkannya sejenak pandangannya dari balik lensa kameranya. Ingin memastikan lebih jelas apa yang baru saja dilihatnya di balik lensa kameranya itu.
Benar, ia menangis.
Melihat hal itu, ia segera mempercepat langkah kakinya dan berlutut di hadapan gadis itu. Ia terpaku sejenak di hadapannya. Hingga jari jemarinya mulai tergerak untuk menghapus air matanya yang menyembabkan mata indahnya.
Bersambung…