Aku takut, jika tak ada orang lain yang bisa meminjamkan pundaknya untukmu. Karena kamu gadis cengeng yang tak bisa terusik sedikit saja. Aku juga sudah memperingatkan Vincent, untuk tidak usil lagi padamu… karena aku selalu mengawasimu dari sini…
Jadi, jangan pernah nangis lagi, adikku? Biarkan aku pergi dengan tenang…
“Aku ingin..tapi, aku tak bisa, Mathias…”
Kau pasti bisa bahagia meski tanpaku, Emelie…
Jalan hidupmu masih panjang. Jangan kamu sia-siakan hanya dengan tangismu… Berjanjilah padaku…
Mathias seolah membaca pikiran Valen.
Namun Nihil.Tangis itu tak dapat berhenti, sebagai hasil respon ungkapan Mathias di balik layar itu. Emelie tak tahu, akankah ia benar benar bisa mengabulkan segala permintaan Mathias dan hidup berbahagia tanpa Mathias di sisinya? Itu bagaikan mencabuti duri pada batang kaktus besar.
Kaki Emelie seketika menjadi lemas, dadanya sangat sesak, dan matanya kian terasa panas.Tapi dia harus mendengarkan sampai akhir.Emelie mencoba menguatkan dirinya.
Oh iya, tiga hari ke depan, aku berjanji untuk menemuimu di Konzerthaus.
Maaf, aku tidak bisa menepati janjiku itu.Meski aku ingin.
Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu. Perasaan ini sudah mengusikku sejak kecerobohanmu di Brandenburg. Masih ingatkah kamu tentang hari itu?
Jujur, aku seakan sedang memerankan film ation saat itu―dengan aku sang pemeran utama yang menjadi satu satunya penyelamatmu.
Tell me if this was Love, Emelie…
“Ma―thias?”, Emelie tercekat seketika.
Degup jantungnya seakan berhenti berdetak sesaat, membuat pundaknya semakin terguncang.
***
Bersambung…
Penulis adalah Ika keysa. Penulis dapat dihubungi di akun @envychy_oxy dan facebook ikakeysa
Pengen kayak Ika keysa?
Yuk nulis!
Cerpen atau puisi maks. 5000 karakter, bukan plagiat atau mengandung sara dan tidak ada unsur kekerasan ataupun pornograf, belum pernah dipublikasikan dimanapuni. Cerpen atau puisi yang masuk hak milik perusahaan.
Kirim cerpen ataupun puisi ke Koran@pabelan-online.com