Sudah dua purnama, sejak Rio Kutluk membunuh lima polisi dalam sekali bertindak. Tidak ada yang begitu meneliti sosok Rio Kutluk sebelum ini. Anggapan tentang kebenciannya pada Polisi dan mentalnya yang kurang normal juga masih simpang siur.
Rio Kutluk juga tidak pernah menyadari bahwa dirinya melakukan pembunuhan, sebab sebenarnya ia selalu takut melihat darah, termasuk darah-darah binatang. Hal itu begitu saja terjadi, ketika Rio Kutluk genap berusia sepuluh tahu., saat ia sedang menemani Ibunya yang telentang lemas sementara Ayahnya minggat entah kemana. Biasanya Ayahnya meneguk miras bersama para preman-preman tua di dekat jembatan layang; atau duduk termangu melirik-lirik para pelanggan di pasar Impres, begitu sesuatu yang membuat hasratnya membumbung terlihat, ia akan segera merampas benda itu, sebelum kemudian berlari membabi buta.
Rio Kutluk memahami, juga pernah meyakini, bahwa Ayahnya sedang sakit. Orang-orang akan mencari obat untuk meredakan sebuah penyakit dan meneguknya bersama sedikit air. Rio Kutluk selalu berpikir bahwa sebotol miras dengan bau menyengat adalah obat untuk penyakit Ayahnya.
“Apa kau sakit?” Tanya Rio Kutluk ketika Ayahnya baru saja pulang di pagi hari sambil menggenggam sebotol miras.
Ayahnya hanya diam, melirik anak semata wayangnya sebentar, kembali berjalan sempoyongan, dan melempar tubuh ke sofa ruang tamu.
***
Bersambung…
Penulis adalah Prasetiyo Leksono Nur Widodo. Mahasiswa Teknik I[image_sliders]
[image_slider link=”full_url_link” source=”full_image_source”] Description [/image_slider]
[image_slider link=”full_url_link” source=”full_image_source”] Description [/image_slider]
[image_slider link=”full_url_link” source=”full_image_source”] Description [/image_slider]
[/image_sliders]ndustri.