“Aku tidak mau,” Rio Kutluk menolak. “Aku hanya mau tahu, apa cara lain agar orang sakit bisa sembuh.”
“Ahh! terserah kau saja. Ikutilah kata Ibumu, aku tak peduli. Ya, orang sakit butuh obat. Ini obatku,” Ayahnya mengangkat botol miras yang digenggamnya, mengocok-ngocoknya, dan berkata, “Sudah pergi sana!”.
Ibunya begitu lemas waktu itu, membuat Rio Kutluk terus menangis, ia tahu benar bahwa Ibunya sedang sakit, sebab di hadapannya, Ibunya bahkan tak bisa diam barang sejenak, menggeliat serupa sakaratul maut, dan di perutnya terdapat pembengkakan besar. Ia bingung harus mencari obat kemana, dan obat yang seperti apa, yang cair atau yang bulat kecil, atau yang menyengat seperti yang selalu dibawa oleh Ayahnya ketika pulang pagi hari. Bahkan dalam keadaan genting demikian, ia tidak memiliki pikiran untuk mencari pertolongan. Ia seperti diperbudak oleh rasa bingung, cemas, takut, dan melebur membuat daya pikirnya tumpul.
Rio Kutluk, begitu lama menangis dan menjerit-jerit di samping tubuh ibunya yang terlentang. Sesekali Ibunya berteriak sesuatu, entah padanya atau pada sesuatu,
“Diam, bocah!”