“Kenapa kau mempunyai benda itu?” tanya Rio Kutluk pada Hito Angkring.
“Ini untuk jaga-jaga, bocah.”
“Dari apa?”
“Dari Polisi, kau mau menggunakannya?”
“Mengapa kau berjaga dari mereka? Tidak, aku tidak tahu caranya.”
Hito Angkring menyayangi Rio Kutluk, bahkan lebih dari Ayah Rio Kutluk sendiri yang kerap kali hanya memaki dan memukul.
Hari dimana Ayahnya mati adalah ketika Rio Kutluk ingin membantu Ayahnya mengamen.
“Bolehkan aku bernyanyi bersamamu?”
“Tak usah, kau hanya akan mengganggu.”
Rio Kutluk begitu ingin bernyanyi bersama Ayahnya, sehingga ia mengikuti Ayahnya dari belakang, tentunya tanpa kesadaran sang Ayah. Rio Kutluk kehilangan jejak tatkala mereka sampai di pasar Impres. Ia bahkan tak tahu dimana ia berada, ia tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Beberapa menit ketika ia mencari keberadaan Ayahnya, ia menemukan Ayahnya dengan kaos oblong berlari membabi buta sambil merangkul sebuah tas wanita, melewati para pedagang sayur dan gerobak-gerobak.
…
Bersambung…
Penulis adalah Prasetiyo Leksono Nur Widodo. Mahasiswa Teknik Industri.