“Lagi pula, untuk apa kau memikirkan hal-hal yang tidak penting seperti itu? Masa bodo dengan lingkungan! Kalau kau hanya akan terus memikirkan lingkungan, kenapa kau tidak keluar saja dari jurusanmu, teknik elektro?! Hah dasar bodoh! Angga bodoh!”
Apa katanya? Hal tidak penting? Bodoh?
“Semua kata-katamu bohong! Bulan lalu kamu bahkan tidak bisa membawakanku edelweiss saat mendaki Mahameru!”
Tentu saja aku tidak bisa. Bunga keaba-dian itu harus dilindungi, bukan dibiarkan tercerabut dengan mitos bodoh abadinya cinta seseorang jika diberi keka-sihnya bunga putih yang tumbuh berumpun itu. Aku menahan emosiku yang memuncak. “Maaf. Soal itu karena, aku adalah mahasiswa teknik bodoh yang tidak bisa membedakan mana edelweiss dan mana perdu,” ucapku seke-nanya.
Mata Selly berkilat-kilat marah. “Harus-nya aku mendengarkan kata paman untuk tidak membiarkanmu bergabung dalam uru-san yang membosankan itu!” Ia mening-galkanku dengan kaki yang dihentak.
*
Demo batal! Semua sudah pulang.
Pesan dari seorang kawan yang baru saja kubaca setelah keluar dari laboratorium membuatku berlari kesetanan menuju griya mahasiswa. Apa maksudnya? Tiga puluh menit lagi kita akan berangkat ke pabrik! Smart-phoneku kembali bergetar.
Bersambung…
Penulis adalah Fa Rahma. Tulisan pernah dibuat di Tabloid Pabelan Pos Edisi 110.