Aku menghentikan motor pada sebuah pelabuhan perikanan di muara sungai Bengawan Solo yang pernah kukunjungi bersama kakek, disambut dengan terpaan angin senja yang kencang. Sinarnya yang jatuh diperairan membuat permukaan air berkilat-kilat. Aku hanya berdiam diri hingga senja benar-benar jatuh. Akhirnya, kukeluarkan sebuah kotak cincin dalam saku jaket, mem-bukanya. Tersenyum membayangkan ia melingkar di jari manis Selly. Ponselku ber-getar. Pesan masuk dari orang yang baru saja kupikirkan.
Angga, ternyata mudah sekali urusan selesai kalau aku meminta bantuan Papa. Kenapa tidak sejak dulu, ya? Hehe. Tenanglah, kita bisa memikirkan cara lain untuk menjaga alam. Oh iya, teman-temanmu sekarang berada di rumahku. Kau di mana? Kami sedang memanggang bebek. Cepat datang jika tidak ingin kehabisan!
Hatiku mencelos membaca pesan itu. Tanganku bergetar hebat, seperti tidak kuasa lagi menggenggam kotak cincin yang bermasa sangat ringan. Aku mengatupkan rahang dan mencoba menggenggamnya kuat-kuat. Memejamkan mata, kulempar kotak cincin itu sejauh mungkin. Membiarkan arus Bengawan Solo menyeretnya, menghilangkan luka dan perihku.
“Kakak, tidak boleh membuang sampah sembarangan di sungai! Itu akan merusak alam!”
Teguran dari seorang anak laki-laki bercelana pendek dengan membawa benang layangan di sebelahku yang tidak kusadari kapan hadirnya membuatku membeku. Ke-mudian aku seakan-akan melihat seluruh idealismeku terpenggal, menggantung di awang-awang.
Selesai…
Penulis adalah Fa Rahma. Tulisan pernah dibuat di Tabloid Pabelan Pos Edisi 110.