Pendidikan dinoktahkan setidak-tidaknya menghasilkan manusia yang berbudi pekerti. Atau kalau tidak, sederhananya mencetak manusia yang berperilaku baik. Kita telah melihat bagaimana gambaran kehidupan di institusi-intitusi pendidikan sebagaimana lazimnya. Yang baik, yang dipuji, yang buruk, yang terpuruk. Badan-badan institusi sekolah seperti Bimbingan Konseling pun bekerja dengan mekanis.
Dunia pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini telah digoncangkan dengan kejadian-kejadian yang sangat berkebalikan dengan noktah-noktah yang menjadi tujuan utama pendidikan. Kejadian tersebut memberi sebuah kabar yang buruk dan tragis, pendidikan ternyata juga dapat menghasilkan kematian.
Meskipun pendidikan itu tak terkait langsung dengan kegiatan belajar-mengajar di dalam kelas. Tetap saja kejadian-kejadian yang merenggut nyawa ini adalah kegiatan yang masih masuk dalam konteks pendidikan. Dan tentunya masuk dalam ranah kegiatan pendidikan tinggi.
Pertama, Diklat Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Universitas Islam (Unisi) yang membuat empat nyawa peserta melayang. Kedua, perploncoan yang dilakukan oleh senior-senior taruna kepada junior-juniornya. Perploncoan yang katanya telah mengakar kuat dalam budaya sekolah tersebut telah membuat satu nyawa taruna tercabut.
Kejadian-kejadian ini sebenarnya memberikan kita sebuah perenungan. Apakah pendidikan saat ini masih memerlukan sebuah pendekatan kekerasan? Apakah masih berhubungan, sentuhan kekerasan untuk mengajarkan kedisplinan terhadap anak didik?
Mentalitas keras, disiplin, dan kaku masih saja diterapkan saat ini. Urusan baris-berbaris mungkin lambat laun mulai ditinggalkan oleh para pelaku pendidikan. Namun, pendekatan dengan kekerasan apakah masih dibutuhkan? Mentalitas pendidikan peninggalan Orde Baru ini sebaiknya memang sudah mulai ditinggalkan.
Kini saatnya para praktisi, pelaku, atau selengkapnya civitas akademica mengawali kegiatan didik-mendidik dengan sentuhan humanisme. Pendidikan adalah salah satu aspek kehidupan manusia yang diupayakan untuk menjadikan manusia berperilaku baik, bukan berperilaku keras laiknya militer. Maka dengan itu, humanisme pendidikan sebaiknya tak sampai masuk dalam status darurat.
Humanisme dalam dunia pendidikan Indonesia pernah dicetuskan oleh Y.B Mangunwijaya atau biasa disapa Romo Mangun, seorang Romo Katolik yang tenar dengan karya sastra serta pemikiran-pemikiran humanismenya. Pemikiran humanisme Romo Mangun tak hanya menyentuh ke dalam sisi agama. Melainkan juga mengena pada aspek-aspek sosial lainnya, termasuk pendidikan.
Menurut Romo Mangun, karakter manusia Indonesia pasca kemerdekaan masih lekat dengan budaya feodal yang ditinggalkan oleh masa kolonial. Generasi muda saat ini semestinya seturut apa yang dipikirkan Romo Mangun, perlu mengembangkan pola pikir yang adaptif terhadap dinamika kehidupan. Dan hal itu hanya dapat dilakukan dengan cara mendidik yang membebaskan dan memerdekakan.
Pendidikan sekarang ini tak harus menyamaratakan karakter. Tak mesti seperti militer yang menjadikan output-output pendidikannya keluar dengan karakter yang sama dan universal. Pendidikan bagi Romo Mangun adalah cara bagi sebuah negara untuk mengembangkan manusia yang dapat bertahan dan survive dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan menerjunkan langsung peserta didik ke tengah-tengah masyarakat. Setidaknya peserta didik telah menjalani model pendidikan yang dimaksud oleh Romo Mangun sebagai membebaskan dan memerdekakan. Sama seperti Indonesia yang memerdekakan diri untuk bebas menentukan hak serta nasib rakyatnya. Peserta didik juga dapat menentukan ke arah mana karakter yang akan membentuk dirinya dengan cara yang “Bebas dan Merdeka”.
Namun bebas dan merdeka di sini bukan untuk membebaskan peserta didik dari tuntutan. Peserta didik wajib menanggung konsekuensi yang dilakukannya. Moral dan etika jadi gugus utama dalam mempraktikan model pendidikan seperti ini, bukan lagi dengan patokan fisik dan ketahanan tubuh. Dan inilah salah satu bagian vital dari sebuah ide humanisme, yaitu moralitas.
Di kegiatan mahasiswa, mungkin sudah sebaiknya standar kedisiplinan telah digeser. Disiplin bukan lagi bersinonim dengan keras. Keras bukan lagi berkonotasi dengan daya tahan tubuh. Disiplin adalah bertanggung jawab. Dan tanggung jawab dapat diajarkan dengan menyemaikan sejak awal sosialisasi pendidikan dengan cara memberikan penyadaran yang alami kepada peserta didik. Bila masih ruwet dengan gagasan-gagasan ini, sebagai contoh nyata coba tonton film Dead Poets Society.
Film tersebut tadi menampilkan kegiatan belajar mengajar di sebuah sekolah lawas. Sekolah tersebut kedatangan saeorang guru yang eksentrik. Metode belajarnya aneh, membiarkan para muridnya belajar di luar lingkungan sekolah dengan pembelajaran yang reflektif. Metode ini ditentang oleh pihak atasan sekolah. Meski demikian, metode ini disukai oleh murid-muridnya hingga kemudian pelan-pelan pihak sekolah dapat menerimanya dengan baik.
Mungkin nantinya bila kita merubah sebuah model pendidikan seperti itu, akan ada gegar budaya saat terjadi transisi generasi. Cara main yang berbeda, sesaat akan membuat sebuah culture shock. Meski demikian ini dibutuhkan untuk merubah mindset pendidik dan peserta didik. Apalagi jika ditujukan untuk memutus tradisi yang telah berkembang dan turun-temurun bekerja dengan rapih dan membudaya. Demi kemajuan bangsa, bolehlah sedikit berkorban perasaan.
Dan Romo Mangun telah lama bermimpi mewujudkan gagasan manis humanismenya ini. Mungkin, ini saat yang tepat untuk merealisasikan hal tersebut.
Penulis: Muhammad Taufik
Mahasiswa aktif Fakultas Psikologi