Kecil-kecil cabai rawit. Tampaknya, kalimat inilah yang cocok untuk menggambarkan sosok mahasiswi bernama Gandes Nawangsari. Di balik tubuh yang mungil dan suara yang lengking nyaring, rupanya ia menyimpan sejumlah riwayat prestasi dan kisah yang menginspirasi.
Berlatar belakang memiliki sifat ambisius, memahami hakekat diri, dan kefasihan dalam berbahasa Inggris membuatnya mendapat kesempatan untuk mempresentasikan beberapa paper-nya yang lolos dalam Internasional Association for Cross-Cultural Psychology (IACCP). Sejauh ini Gandes telah mendapat kesempatan ke Jepang, dan di tahun ini akan berangkat ke Liverpool dan Austria.
Mahasiswi yang bercita-cita mengelilingi dunia ini, mengaku awal prestasinya adalah sebuah keisengan, bahkan paper pertamanya dibuat dalam waktu 15 menit dan sudah hampir kehabisan waktu batas pengiriman. “Itu dibuka untuk umum, dari mahasiswa sampai profesional boleh daftar, dan mayoritas yang ikut itu Profesor dan Doktor, dan aku tidak yakin sebenarnya, eh, ternyata lolos,” katanya.
Mewawancarai kehidupan mahasiswi psikologi semester delapan ini seperti sedang berhadapan dengan dua sosok yang berbeda. Ia mengisahkan kehidupannya dalam jangka waktu semester satu hingga tiga yang penuh sifat ambisius tapi tidak mendapat apa-apa, dan kehidupannya setelah itu yang penuh ketenangan tapi justru penuh prestasi.
Kehidupan Penuh Ambisi
Seperti halnya kebanyakan orang, Gandes tak lepas dari calon-calon mahasiswi yang merasa marah dan menyesal saat tidak bisa tembus di universitas yang diinginkan. Hingga akhirnya ia terdampar di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Hal itu membuatnya ingin membalas dendam, ia memahami kekurangannya bahwa tidak berkuliah di Universitas Negeri, sehingga akhirnya berambisi untuk memiliki prestasi ke luar negeri.
Bahkan, demi mewujudkan mimpinya itu, ia tidak memperdulikan orang-orang di sekitarnya. Di dalam blognya, ia menceritakan pernah membaca 1000 jurnal dalam waktu dua minggu dan mengaku tidak mendapat apa-apa. “Aku gak ngantuk, juga gak lelah, karena orientasi ku dulu mau balas dendam, tapi justru gak dapat apa-apa dan malah jadi beban,” terangnya.
Pada saat semester tiga, ia merasa lelah dalam belajar dan menjalani kehidupan dengan penuh kewajaran. Namun, ketika ia tidak lagi berambisi dan menggebu-gebu dalam belajar, ia justru mendapat IP 4,00.
Kehidupan Penuh Ketenangan
Karena merasa lelah dalam belajar, ia kemudian mengubah pola belajarnya: dari membaca teori sebanyak mungkin kemudian mencari permasalahan, menjadi mencari permasalahan terlebih dahulu kemudian mencari teori yang bersangkutan. Menurutnya, pola belajar seperti ini jauh lebih efektif karena lebih kuat tertanam dalam ingatan. Dari semester tiga hingga lima ia menggunakan pola belajar seperti ini dan selalu mendapat IP di atas 3,8.
Pada saat semester lima, ia mendapat info tentang IACCP dari Center for Islamic and Indigenous Psikologi (CIIP), dan mulai mencoba menulis paper, yang kemudian membawanya ke Jepang. Saat di Jepang, ia mengamati bahwa penduduk muslim di sana jauh lebih islami dibandingkan di negeri asalnya, hal inilah yang kemudian membuatnya bercita-cita untuk menyebar dakwah dengan cara keliling dunia.
Reporter: Prasetyo Leksono Nur Widodo
Editor: Livia Purwati